Semenjak kanak-kanak, pertanyaan ini kerap saya galaukan. Apa salahnya dengan musik dangdut? Bukankah iramanya 11, 12, 13, seperti tanggal hari ini, dengan lagu R & B maupun musik dugem ajep-ajep di bar yang kerap digandrungi anak kuliahan dan eksekutif muda sepulang ngantor sampai dini hari? Bahkan menurut saya, lagu dangdut itu mirip-mirip dengan musik Reggae yang punya penggemar fanatik nan eksklusif di Indonesia. Jika sedemikian parah serta memalukannya image musik dangdut, haruskah kita mengubah kata ‘dangdut’ menjadi kata yang terbaca dan terdengar lebih keren? 

Baiklah. Saya intip lagi masa lalu. Dulu, Bapak saya memang bukan penggemar musik dangdut. Ia lebih suka memutar lagu-lagu sunda semisal kecapi suling, pupuh, dan degung/karawitan pada radio tape tua kami di rumah. Saya ikut mendengarkan saja, sebab kawih-kawih sunda itu memang enak didengar, begitu syahdu, liriknya begitu menyayat-nyayat kalbu dan memercik genangan kenangan. Alhasil saya bersyukur, bapak saya punya selera musik yang baik. Tidak seperti bapak-bapak lain yang gila dangdut, di mana ada panggung, di situ ada bapak-bapak lain itu tengah memelototi pantat pedangdut.

Sesudah remaja hingga sekarang, saya sadar bahwa tidak punya selera musik yang spesifik. Lagu apa saja, rilis tahun berapa, siapa pun penyanyinya akan saya sukai bila memang enak didengar pada kesempatan pertama. Dan tentu saja lagu yang liriknya mewakili pemikiran dan kegundahan perasaan saya. Tapi, lagu dangdut ialah pengecualian. Jujur, saya sudah tergiring opini orang-orang yang memfatwakan bahwa lagu dangdut itu tidak keren. Selain itu, saya tidak suka dangdut sebab tidak bisa joget-joget (jika terpaksa joget, mungkin saya bakal terlihat serupa beruang kelaparan) juga tidak punya cukup uang buat nyawer pedangdut seksi itu. Well done. 

Biarkan kali ini saya berpikir objektif, tanpa menyertakan ketaksukaan saya terhadap musik dangdut. Sip. Banyak yang bilang, lirik lagu dangdut itu kampungan, sangat mencerminkan kehidupan masyarakat golongan bawah. Ya, sopir truk, pengayuh becak, pedagang asongan, dan orang-orang yang dianggap sebagian orang sebagai orang pinggiran berselera seni amat rendah. Dan, ini dia yang menurut saya unik, mereka lebih sering memutar lagu dangdut lawas ketimbang lagu-lagu dangdut modern yang dilantunkan misal oleh Ayu Tingting atau Zaskia Gotik. Entah kenapa. Saya penasaran. Dan berikut saya tukil salah satu lirik dangdut koplo yang usianya belum begitu lawas yang barusan saya googling secara acak, tanpa mengetahui bahkan mendengarkan seperti apa irama lagunya: 

Gedung Tua - Wawa Marisa 

Siapa yang mau menghuni gedung tua 

Siapa yang sudi singgah di hati ini 

Tempat keramaian kemewahan sunyi sepi 

Semuanya hampa termakan lapuknya usia… 

Siapa yang mau menghuni gedung tua… 


Reff: 

Sudah berulangkali pernah aku mencoba 

Membangun dan membina kehancuran di jiwa ini 

Kecewa dan kecewa yang selalu kurasa 

Merana dan tersiksa yang tiada akhirnya 

Hanya padamu Tuhan aku berserah diri di dalam segala cobaan

Hmm. Lirik-lirik itu kampungan? Masak, sih. Sepertinya biasa saja. Bahkan, saya rasa ada kata-kata yang menyiratkan kegelisahan seseorang secara mendalam. Misalnya saja, gedung tua itu sendiri. Saya yakin, maknanya bukan sekadar bangunan beberapa lantai yang lapuk ditinggalkan penghuninya. Bisa saja sebagai simbol hubungan asmara yang sudah usang lantaran terkerkah oleh perbedaan adat istiadat keluarga masing-masing. Atau, yah, sebenarnya ada beberapa lirik yang bisa dibedah. Anda pun dapat menafsirkan sendiri. Dari sini, saya berpendapat, lirik lagu dangdut ternyata tidak norak-norak amat sebab maknanya tidak terlalu dangkal. Tidak ada masalah dengan lirik.

Semacam membandingkan hape, motor, mobil, boleh saya bandingkan dengan lagu lain yang dianggap keren? Supaya adil, saya hendak bandingkan Wawa Marisa dengan pemusik yang sama-sama berasal dari Indonesia, yang kabarnya sudah terkenal hingga US, bukan band indie yang sangat idealis, dan rilis pada tahun yang sama dengan lagu Gedung Tua, mmm, saya rasa sekitar tahun 2008. Superman Is Dead - Jika Kami Bersama. Semoga lagu ini memang keren. Menurut saya, sih, lumayan. 

Jika Kami Bersama - SID

Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya

Jika kami berpesta, hening akan terpecah

Aku, dia dan mereka memang gila memang beda

Tak perlu berpura-pura memang begini adanya

Dan kami di sini

akan terus bernyanyi

Dan jika kami bersama nyalakan tanda bahaya

Musik akan menghentak anda akan tersentak

Dan kami tahu anda bosan dijejali rasa yang sama

Kami adalah kamu, muda beda dan berbahaya

Lepaskan semua belenggu yang melingkari hidupmu

berdiri tegak menantang di sana di garis depan

aku berteriak lantang untuk jiwa yang hilang

untuk mereka yang selalu tersingkirkan

ketika tiada beban lagi untuk berlari

Ketika tiada orang yang akan peduli

Aku dan dia selalu menunggumu di sini

angkat sekali lagi

Dan kami di sini

akan terus bernyanyi...

Saya penggal liriknya sampai di sini, sebab liriknya sama dan diulang-ulang. Nah! Band beraliran grunge ini memang kerap menjalin lirik lagu yang bagus, mengena, dan juga indah. Sangat puitikal. Bahkan ada beberapa lagu mereka yang berbahasa Inggris, yang sontak meningkatkan taraf kekerenan lagu SID. Tapi, saya rasa lirik ini hampir setara dengan lagu dangdut koplo di atas. Ada perumpamaan, ada simbol. Yang berbeda, cuma taste, barangkali. Dan tokoh di dalam lirik pun berbeda; dalam lagu dangdut mayoritas mewakili manusia berusia paruh baya yang kehilangan arah kehidupan, sementara lagu-lagu SID tentu saja mewakili spirit anak muda bersudut pandang liberal.

Dan perbedaan yang sangat kentara, tentu saja image. Tidak keren, kan, jika saya mencantumkan nama Wawa Marisa pada sablonan kaus oblong. Lain halnya andai saya mengenakan kaus oblong hitam bertuliskan Superman Is Dead. Keren! Garang. Kecil kemungkinan saya bakal dianggap norak oleh teman-teman. 

Ah, sudahlah. Pada akhirnya mesti saya akui, sebuah lagu atau produk-produk hiburan apa pun bentuknya, bersifat pribadi. Sangat subjektif, privat alias gue banget. Mungkin suatu waktu saya akan menyukai lagu dangdut andai kelak saya sempat merasakan betapa lelah dan pelik dan geregetnya mengemudi truk kontainer lintas jawa menuju pelabuhan Merak, di setiap pos diadang pungutan wajib oleh DLLAJ, di setiap tikungan ditodong “pak ogah”.

Percayalah, sepanjang jalan dari Jakarta, Bogor, Bandung maupun dari kota-kota lain di Jawa hingga menyusuri pelabuhan Merak, pos-pos DLLAJ itu mungkin ratusan jumlahnya. Apa lagi tikungan? Duh! Mungkin musik dangdut yang mencerminkan pasang-surut kehidupan mereka yang lebih banyak surutnya itu. Mungkin cuma musik dangdut yang bersetia terhadap mereka.[]