Ilustrasi Kupat Tahu Padalarang (Sumber: Detik.com)

Terdengar asing? Kupat tahu Padalarang memang tidak sepopuler kupat tahu Singaparna atau kupat tahu Magelang atau aneka kupat ngetop lain semacam ketoprak dan lontong sayur Padang. Entahlah, mungkin lantaran rasanya biasa, tidak ada yang spesial. Cenderung kurang berkarakter. Seperti kondisi daerahnya.

Terlebih jika kita menilik penampilannya yang jauh dari kesan eye catching, apalagi instagramable. Bahkan segelintir orang terdekat saya bilang tampilan kupat tahu ini seperti (maaf) muntahan, apalagi jika dipincuk alias dibungkus, bukan makan di tempat.

Padahal, layaknya manusia, kita tak dapat menilai kemudian menyimpulkan sifat asli seseorang sebatas dari lensa mata. Yang kita lihat bahkan kita yakini semula, seringkali berwatak sebaliknya. Makanan pun demikian, saya pribadi sangat menyukai cita rasa kupat tahu ini meski dandanannya minus. Sebab sudah mengenal dan akrab di lidah saya sejak kecil, tidak ada lagi rahasia yang ditutup-tutupi, kecuali resep turun-temurun yang sampai sekarang hanya keluarga pewaris dan Tuhan yang tahu.

Kupat tahu Padalarang, sesuai namanya, berasal dari Padalarang, salah satu kecamatan di pelosok Bandung sebelah barat. Dalam buku "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels", Pramoedya Ananta Toer sempat menyinggung Bandung pinggiran ini:

...Dari Cianjur ke timur sejauh 40 kilometer Jalan Raya Pos mendatar dan mendaki lagi waktu memasuki Padalarang. Pada waktu jalan ini dibikin atau ditingkatkan Padalarang masih berupa dusun yang tak berarti. Sekarang, semasa Orde Baru kota kecil ini biasa tercemar debu karena gempuran pada bukit-bukit kapurnya guna pembangunan...

―Pramoedya Ananta Toer (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels; hal. 62)

Memang demikianlah adanya. Padalarang sebelah kulon didominasi oleh bukit-bukit kapur yang sampai sekarang semakin masif dieskplorasi, dengan tanur-tanur vertikal di sekitarnya. Selain bukit dan pabrik pengolahan kapur terdapat pula bukit-bukit batu yang terkandung marmer dan granit di dalamnya, sehingga sekarang mulai bertumbuhan perusahaan pengolahan marmer dan granit di kawasan Cipatat, Padalarang. Di antara bukit-bukit batu dan kapur, di sana pula Gua Pawon berada, kawasan wisata sejarah periode Megalitikum yang sekarang sedang digandrungi oleh para traveler.

Tanur Vertikal Pembuatan Kapur (Dok: Pribadi)

Tanur Vertikal Pembuatan Kapur dan Truk Tua Pengangkut Batu Kapur yang biasa disebut "Bayawak" (Dok: Pribadi)

Seperti tiga tahun lalu pernah saya tulis, kecuali bukit-bukit batu dan kapur di sebelah kulon tadi, Padalarang zaman dulu selebihnya berupa hamparan petak-petak sawah dan sedikit sekali dusun di sekitarnya. Selain pabrik kertas peninggalan Belanda―yang mungkin dulu adalah satu-satunya bangunan paling modern di Padalarang, sisanya adalah perkebunan, rumah yang berjarak renggang dengan rumah lain, dan tanah lapang. Berkebalikan dengan keadaan saat ini yang sangat padat: ruko dimana-mana, kontrakan di tiap gang ada, ojeg pahibut jeung delman unggal isuk.

Meskipun sudah berubah menjadi kawasan padat penduduk dan bukan lagi dusun tak berarti seperti kata Pram, Padalarang di mata turis ibukota tetaplah kota kecil sebelum Bandung yang sekadar untuk dilintasi, kalau bisa cepat-cepat dilewati agar dapat segera tiba di Kota Kembang, menikmati tata kota modern, berdaya seni tinggi, namun mereka masih dapat menghirup udara segar pegunungan, sebab Padalarang bukanlah Kota Bandung; bukan kawasan yang nyaman untuk dikunjungi dan indah disebarkan di instagram. Alhasil yang penduduk Padalarang rasakan hanyalah kepadatan lalu lintas akibat turis yang cuma numpang lewat.

Kepesatan kota kecil Padalarang seperti grafik polinomial yang sekalinya meningkat terus saja tajam ke atas. Sampai-sampai melupakan faktor-faktor penunjang di bawahnya. Ramayana, Borma, Giant Express, Dunkin Donuts, perumahan elit di mulut gerbang tol, perumahan menengah di pinggir jalan arteri yang selalu macet, sawah yang mendadak menjelma rumah-rumah toko satu per satu muncul, mustahil dapat dihentikan kemunculannya. Sementara jalan raya sebagai sarana utama untuk mencapai fasilitas manusia modern barusan, dari dulu masih sama, dengan lebar yang sama, mungkin semakin menyempit berkat para pedagang kaki lima.

Sebagai jalur penghubung klasik antara ibukota dengan Kota Bandung, Padalarang belum berubah atau setidaknya mengubah diri secara progresif; jalannya masih jalan yang sama yaitu Jalan Raya Pos yang digagas Daendels sejak lebih dari satu abad silam. Apakah membangun jalan memang tidak "seberfaedah" melahirkan izin pendirian Ramayana, Borma, perumahan-perumahan kelas menengah yang bila melihat harganya, mustahil dihuni oleh pribumi yang keadaan ekonominya belum begitu baik dibanding kabupaten lain? Membenahi sarana jalan raya itu sia-sia, gak ada duitnya?

Silakan tanya ke hadirat Yang Mulia Abu Bakar, pejabat Bupati Bandung Barat kita dua periode ini.

*

Kembali pada kupat tahu Padalarang.

Saya pribadi punya kenangan tersendiri dengan kupat tahu Padalarang. Dulu setiap minggu pagi saya dan saudara sepupu suka diajak Kakek sarapan kupat tahu di kios yang berada di dalam pasar Padalarang. Kami mengenalnya dengan Tahu Mulya, penjual tahu kuning sekaligus pemrakarsa kupat tahu pertama kali di Padalarang, hingga sekarang tersohor sebagai Kupat Tahu Padalarang.

Saya masih ingat ciput (penutup kepala) dan bibir tebal ibu penjualnya yang merupakan generasi kedua Tahu Mulya, tangannya yang lincah memotong gelondongan kupat yang besar menjadi potongan-potongan sedang yang tidak terlalu kecil―sering saya ngeri membayangkan tangan ibu itu teriris pisau sendiri. Sampai sekarang bunyi pisau dengan talenan yang berirama stacatto dari ibu itu masih terngiang rapi dalam telinga.

Hal lain yang membekas adalah berbagi sepotong kerupuk putih bersama sepupu, jadi selama itu kami masing-masing biasa makan separuh kerupuk sebagaimana Kakek contohkan. Begitupun dengan porsi kupat tahu yang kami makan setengah porsi saja, sesuai kapasitas perut anak-anak.

Dan ritual kami minggu pagi itu harus berakhir ketika Kakek pensiun untuk kedua kalinya dari PT. Inti―perusahaan telekomunikasi tempat beliau bekerja setelah lima tahun sebelumnya sudah pensiun dari PT. Telkom. Tapi perjumpaan lidah saya dengan kupat tahu tidak berakhir begitu saja, sebab Mamah-Apa pun doyan kupat tahu, sesekali membelinya untuk sarapan kami bertujuh, atau jika kondisi keuangan kurang, Apa cuma membeli angeun atau kuah tahunya saja, tanpa kupat, kemudian kami makan angeun tahu bersama nasi yang dihangatkan pada langseng pagi itu.

Seingat saya keluarga kami sempat beberapa kali berpindah langganan kupat tahu Padalarang. Langganan mula-mula tentu saja Tahu Mulya dan generasi keduanya sebagaimana langganan Kakek. Namun sejak awal 2000an, pamor kedai kupat tahu itu meredup, entah apa sebab persisnya. Dari selentingan mulut ke mulut, konon mereka berpindah lokasi keluar dari Padalarang ke Cimahi. Mungkin kalau zaman sekarang semacam ekspansi usaha. Atau keluar dari comfort zone sebagaimana pakar passion katakan dan anjurkan akhir-akhir ini.

Selain Tahu Mulya, memang ada legenda kupat tahu lain yang akrab bagi masyarakat Padalarang. Salah satunya berlokasi di seberang Stasiun Padalarang, di antara deretan kios-kios yang tergolong kawasan pasar Curug Agung. Penjual itu konon masih beroleh pertalian darah dengan Tahu Mulya meski saudara jauh. Namun karena letak Kupat Tahu Stasion itu cukup jauh dari rumah dan harus naik angkot untuk mencapainya, kami jarang memaksakan diri ke sana hanya untuk sarapan kupat tahu.

Beberapa tahun kemudian, ada kabar saudara kandung perempuan Pak RW yang berstatus Sarjana Teknik membuka kios kupat tahu di pasar Padalarang, di kios peninggalan Tahu Mulya itu. Dan memang ibu muda itu masih ada pertalian darah juga dengan keluarga kupat tahu. Kiosnya bersih, rasa kupat tahunya memang enak, hampir menyerupai rasa Tahu Mulya dulu. Namun sayang pelayanannya lama serta porsinya sedikit, sehingga menurut kami harganya tidak sesuai dengan porsi semestinya. Setelah beberapa tahun, lantaran memang sepi pembeli, kios itu ditinggalkan dan tidak ada lagi pedagang kupat tahu di sana hingga hari ini.

Kata kuncinya adalah: kupat tahu Padalarang sarat dengan intrik Nepotisme. Keluarga kami yang dikenal sebagai keluarga guru mustahil mengetahui resep andalan dan rempah rahasia kupat tahu Padalarang, meskipun Mamah termasuk tipikal ibu-ibu yang suka ngulik-ngulik resep dari majalah Femina pun. Beberapa kali mencoba membuat kuah tahu semacam itu, rasanya selalu aneh. Tak pernah sama dengan legenda.

Hingga setelah saya sekolah di STM pada 2006, suatu pagi Apa pulang dari luar membeli sarapan sebagaimana biasa. Wajahnya berseri-seri dan langkahnya bersemangat dengan tangan menenteng kresek hitam.

"Putrinya Kupat Tahu Stasion buka cabang di depan gang kita!" serunya pada saya dan Mamah sembari buru-buru mengupas staples pada pincuk kupat tahu seakan tak sabar ingin segera menyikat habis isi di dalamnya.

Pagi itu kami bertiga sarapan kupat tahu yang penjualnya baru kami kenal itu, yang rasanya mengingatkan saya pada kenangan dengan Kakek semasa kecil di Minggu pagi. Cita rasa yang persis dengan Tahu Mulya, baik kuah & bihun, tekstur kupat, dan tahu yang digoreng sekenanya asal dicebur ke minyak. Pagi-pagi berikutnya, sampai sekarang sepuluh tahun kemudian, kami memutuskan untuk berlangganan kupat tahu ke situ, terlebih memang lokasinya paling dekat dengan rumah, dan cita rasa legenda yang mereka usung cocok dengan lidah kami.

Sedikit tips dari saya bagi Anda yang mungkin penasaran dan hendak mencari kios atau tenda kupat tahu Padalarang yang paling enak. Sepengalaman saya, jangan sampai Anda terkecoh dengan penampilan gerobak atau kios yang bagus, grafis tenda kekinian, atau penampilan ibu-ibu penjual yang cantik, bohay kameumeut. Percayalah, rasa kupat tahu Padalarang tidak ekuivalen dengan hal-hal demikian. Sebab pertalian darah dengan legendalah yang menentukan.

Parameter sederhana yang dapat kita jadikan sandaran adalah penuh tidaknya tenda kupat tahu itu oleh pelanggan. Dan apakah di atas pukul sebelas siang tenda kupat tahu itu masih berjualan dan stok gelondongan kupatnya masih banyak, sebab pedagang kupat tahu Padalarang yang laris biasa membenahi gerobaknya untuk bersiap pulang pada pukul sepuluh atau setengah sebelas pagi. Kemudian, apakah tahu-tahu kuning goreng banyak menumpuk di atas baskom dan penggorengannya sering padam. Oh ya?

Ya, sebab kupat tahu Padalarang yang laris, saking larisnya, mereka biasa menggoreng tahu secara dadakan dan seolah istilah tahu goreng di benak mereka adalah sekadar syarat pertemuan tahu dengan minyak, asal tahu kecebur saja, sebab tidak lama tahu-tahu itu lekas diangkat dari wajan dan langsung ditaruh ke piring pelanggan yang sedang antre menunggu.

Saya memang tidak muluk-muluk mengharapkan kupat tahu Padalarang untuk go internesyenel semacam Tom Yum, hidangan tradisional dari Thailand. Saya sudah bahagia cukup dengan mengingat kenangan minggu pagi dengan Kakek di dalam pasar Padalarang, dan menyadari bahwa waktu terus berjalan. Usia saya bertambah, sudah lama tak lagi bermukim di Padalarang. Pewaris kupat tahu satu per satu wafat, dilanjutkan oleh generasi-generasi selanjutnya sebagai suksesor yang belum tentu sesukses ayah-ibu-kakek-neneknya.[]