Setiap pulang ke rumah orangtua, rindu selalu mengajak saya kembali ke masa lalu dengan mesin waktu. Makanan, barangkali, satu-satunya medium yang berhasil mengajak ingatan kita untuk menapak tilasi masa silam suatu tempat, suatu daerah yang pernah kita mukimi.

Misal, kupat tahu Padalarang tetaplah menu sarapan sederhana yang teramat sulit diujicoba racikannya di dapur rumah sendiri, selain di dapur keluarga pewaris kupat tahu Padalarang yang jumlahnya sangat sedikit, karena sedikit yang sanggup dan sukses melanjutkan kejayaan pendahulunya. Dan sekarang, Sate Madura H. Sarbini di Cimahi termasuk salah satu mesin waktu yang jumlahnya tidak banyak itu.

Rabu kemarin, saya mampir makan siang ke Rumah Makan H. Sarbini yang sejak dulu belum pernah berpindah dari lokasi yang sama: Jl. Raya Barat 561, dekat Alun-Alun Kota Cimahi. Yang banyak berubah adalah toko samping kanan dan kiri dan kepadatan jalan raya di hadapannya, dan kepala sang empu yang kian mengilap.

Sementara bangunan Rumah Makan ini tetap sama seperti terekam apik dalam romantisme ingatan; dinding berornamen full keramik hingga plafon, meja-meja tua dan deretan kursi Chitose merah, serta lantai tegel merah yang semakin kusam menyerap jejak-jejak kenangan pengunjung, yang mungkin saat ini, pelanggan setia itu tak lagi sanggup untuk sekadar berjalan di atasnya, apalagi menikmati sate atau gulai kambing seperti masa sehat dahulu.

Dengan ramah, pemilik (yang kemudian saya ketahui sebagai pewaris generasi ke dua H. Sarbini) menyambut saya yang memesan sepuluh tusuk sate ayam, santapan favorit saya sepanjang masa. Sembari mengipas-ngipas bakaran sate, sang tuan rumah yang belum saya ketahui namanya itu saya hujani pertanyaan ihwal siapa gerangan dua nama yang dipisah oleh garis miring itu; apakah orang yang sama, ataukah kombinasi nama bapak dan anak?

"Haji Sarbini itu bapak saya, Dek. Beliau sudah lama meninggal. Nama saya sendiri Abdullah."

"Saya kira M. Sarian itu nama Bapak. Kalau begitu, M. Sarian itu siapa, Pak?"

Dengan lebar senyum, bapak berkepala mengilap itu setengah bercerita, "M. Sarian itu nama lahir bapak saya. Sepulang naik haji, barulah beliau mengganti namanya menjadi Haji Sarbini. Sesuai kebiasaan kami di Madura yang menganjurkan ganti nama setelah naik haji. Tapi nama M. Sarian masih suka kami cantumkan, setelah nama Haji Sarbini."

Pak Abdullah dan orangtuanya mengaku sebagai asli Madura. Namun sudah sejak tahun 60an, Haji Sarbini sekeluarga merantau ke Bandung, tepatnya di daerah Jamika. Baru pada sekitar 1969 mereka hijrah ke Cimahi, tepatnya di Jl. Raya Barat No. 561 sekitar Alun-Alun, tempat yang masih abadi dapat Anda temukan dan kunjungi sampai sekarang.

"Udah lumayan lama berarti ya, Pak. Lebih tua dari usia saya. Saya tahu sate H. Sarbini sebab dulu waktu kecil setiap kali jalan-jalan ke Cimahi sama bapak saya, pasti suka mampir makan ke sini. Sampai sekarang kalau saya ada di luar Cimahi, gak bakalan lupa enaknya sate kambing H. Sarbini."

Pak Abdullah tampak sumringah, "Sekarang Adek tinggal di mana?"

"Bogor, Pak. Baru lulus kuliah. Lagi cari-cari kerja."

"Alhamdulillah. Senang mendengarnya."

"Terima kasih, Pak."

"Sekarang Bapak sehat? Masih tinggal di sini, kan?"

"Kebetulan udah beberapa tahun ini kena stroke, Pak."

"Ya Allah... "

"Begitulah, Pak."

"Nanti lain kali ajak lagi Bapak ke sini ya. Pasti beliau seneng makan sate sama soto sama Adek lagi kayak dulu."

Saya tersenyum.

*

Rasa sate ayam H. Sarbini masih sempurna seperti dulu; daging yang tebal dan empuk, serta kadar bakaran yang pas, tidak terlalu gosong, pula matang sempurna. Tidak mentah meskipun menurut saya betapa cepatnya saya menunggu sate dibakar kemudian terhidang di meja. Kemudian, taste bumbu kacang yang halus ini yang belum pernah saya temukan kesepadanannya pada Sate Madura di daerah lain, di Jabodetabek sekalipun. Entah apa rahasianya, sampai sekarang masihlah misteri. Dan jangan lupakan acar mentimun serta bawang merah segar, aduk dengan nasi dan bumbu kacang yang likat, jadilah surga dunia versi saya.

Saya yakin rasa sate sapi dan kambingnya pun masih seperti dulu, sama sedapnya, yang berbeda hanyalah darah saya yang tak lagi mampu menerima sembarangan daging kambing seperti masa kecil dulu. Demikian pula dengan soto sulung yang dahulu menggoyang lidah kecil saya dengan daging, babat, dan aneka jeroan lain.

Di rentang waktu yang memang sudah masuk jam makan siang, meja-meja di Rumah Makan H. Sarbini hampir seluruhnya terisi. Terlihat rombongan meriah ibu-ibu arisan, bapak tua berwajah oriental yang sedang makan soto sendirian, karyawan muda tengah menghabiskan rehat siang di sana. Selain mereka, di sebelah meja saya duduk bapak dan anak yang sedang menikmati sate dan semangkuk soto bersama-sama.

Sebelum beranjak pulang, pada suapan terakhir, kesempurnaan rasa sate ayam ini terasa belum paripurna, seakan ada yang kurang. Ya, saya cuma sendirian di meja ini, tidak seperti momen-momen yang tercipta sebagaimana di meja sebelah, tidak seperti dulu, di mana saya selalu duduk makan sate berdua bersama Apa.[]