Terdampar di antara badai dan misteri lautan. Dengan seadanya perbekalan. Ketika hidup sungguh-sungguh hanya bergelayut kepada kasih sayang Tuhan. Tiada lagi terlintas niat menantang Keagungan-Nya seperti sebelumnya kerap mudah terlena dalam setitik kenikmatan. Masihkah kita hendak berbuat macam-macam?

Keterasingan seseorang dalam pergulatan hidup di alam yang dipersembahkan Sang Pencipta, disuguhkan apik oleh Life of Pi. Penderitaan akibat keterpentalan dari dunia sebelumnya yang biasa menenangkan meski sejatinya menghayutkan—sebab barangkali dibuat fana oleh manusia sendiri—ke segara luas tanpa batas; berkubik-kubik misteri yang tak seorang pun mampu pecahkan.

Diperparah oleh kehadiran hewan buas dari kebun binatang yang semula hendak dipindahkan dari India ke Kanada, yang berhasil mengevakuasi diri ke sekoci Pi. Terpaksa Pi berbagi hidup dengan seekor harimau lebih dari belasan hari, tanpa pengamanan berlapis-lapis kerangkeng yang biasanya meredam keliaran si belang seperti di kebun binatang milik ayahnya dulu. Ia ditakdirkan untuk bertahan hidup satu sekoci dengan makhluk buas pemakan lima kilogram daging setiap hari.

Semula saya kira plot Life of Pi takkan jauh-jauh dari alur utopis Tarzan atau Mowgli, yang bakal begitu mudahnya menjalin persahabatan dengan hewan-hewan liar, bahkan dapat berkomunikasi melalui bahasa yang dimengerti manusia. Ternyata, nihil. Sampai akhir film, harimau dideskripsikan sebagai harimau, bukan sebagai harimau bertabiat manusia. Ia tetaplah liar sesuai kodrat lahiriahnya. Harimau takkan sekali pun menjelma kucing yang akan dengan mudah dibelai-belai dalam ribaan sang Tuan. Tetap karnivora sejati, makhluk pengoyak daging, yang sungguh mungkin pula mencabik daging manusia tanpa permisi.

Harimau bernama Richard Parker itu sungguh sukar dijadikan sebagai teman, sebagaimana wanti-wanti ayahnya dulu. Dalam berhari-hari bertahan hidup di atas sekoci, terombang-ambing tanpa daya di samudera, acap kali keduanya saling berebut kehidupan. Nyaris menuntaskan salah satu nyawa. Hingga angin dan ombak menambatkan sekoci mereka ke pulau hijau nan menenteramkan pada siang, dan terang benderang saat pekat malam. Sepintas, mirip dengan dunia ini. Dunia berisikan manusia yang kerap dibayangi euforia bahagia, padahal pengintai-pengintai selalu siaga.

*

Pulau terapung yang sekadar berkonstruksi akar-akar pepohonan indah yang saling berpaut itu membangkitkan asa Pi dan Richard Parker. Di sana, sepuasnya mereka memanjakan lapar dan dahaga yang terkatung-katung beberapa hari belakangan. Dedaunan, umbi-umbian, hingga daging-dagingan tersedia melimpah cuma-cuma. Telaga jernih air tawar di tengah lautan dikelilingi ribuan binatang mungil, membuktikan sambil menyelam minum air itu benaran ada dan nyata. Seperti di surga.

Namun begitu malam tiba, perubahan tingkah polah binatang-binatang kecil yang jumlahnya tak tepermanai mengejutkan Pi. Mereka serempak memanjat pohon-pohon. Berlarian menuju tempat yang lebih tinggi dari tempat mereka bermain dan bersenang-senang pada siang hari. Seolah mencari perlindungan pada malam hari sudah menjadi rutinitas mereka. Mengindikasikan daratan pulau terapung itu pada gelap malam tidak seindah pendar cahayanya.

Menyaksikan adegan ini saya jadi teringat dunia, satu-satunya alam yang sedang dan dapat kita huni sekaligus sedang kita hancurkan pelan-pelan. Keindahan pulau terapung yang nyaris tanpa cela, dengan rendah hati menjujurkan diri sebagai tempat yang nir-abadi, bukan tempat tepat untuk dimukimi selamanya. Sekadar tempat bersinggah dalam sejenak. Selayaknya Pi dan Richard Parker yang memutuskan untuk segera pergi dari bayang-bayang kemolekan pulau perawan itu.

Sebelum melanjutkan perjalanan alias mendayung kembali sekoci harapan, Pi memboyong perbekalan yang melimpah dari pulau itu ke sekoci, satu-satunya transportasi menuju asa keselamatan, demi memperpanjang napas dan asa mereka. Akan terkesan bodoh apabila keduanya melengos begitu saja dari pulau indah itu tanpa mengemas dan mengangkut logistik. Tanpa menyucikan diri terlebih dahulu di telaga sebening kaca pada siang hari, yang pada malam menjelma air asam; air pemusnah sesiapa pun makhluk berani berenang di sana pada waktu yang tidak tepat.

*

Kematangan dan kekuatan cerita dibuktikan pada film yang akhirnya meremukkan hati ini yang biasa keras mendadak melunak beberapa jenak, meninggalkan jejak haru dan menyingkap ruang permenungan. Beruntung sang screenwriter cukup lihai menerjemahkan imaji-imaji penulis novel dalam memadatkan konflik tanpa meluputkan elemen-elemen penting cerita. Efek visual yang tergolong standar bila dibandingkan film lain yang mungkin jauh lebih jor-joran merekayasa indera, seakan elemen remeh-temeh yang tidak terlalu penting untuk penonton perhatikan serta perlu kritisi sebab ombak cerita sudah cukup menghanyutkan ekspektasi kita.

Pada penghujung film, kita dipersilakan untuk memilih cerita mana yang kita sukai. Yang agak terdengar nyata ataukah yang berkesan tak masuk akal? Sebab kehidupan ini adalah lautan kemustahilan-kemustahilan yang mustahil manusia kuasa pahami, hanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa membuat segala pun dapat terjadi cukup dengan Kun![]