Keseksian Kesuksesan
Selama ini saya kira semua orang punya peluang sama untuk dapat berada di posisi orang yang kita idolakan dan elu-elukan dalam silau sorot lampu media. Beberapa tampil dalam sebuah talkshow, berbagi kenangan penuh perjuangan yang sempat mewarnai perjalanan dia menuju kesuksesan. "Saya dulu dilahirkan di tengah keluarga sederhana. Setiap hari kami makan bubur, karena orangtua saya dikaruniai banyak anak. Kadang tidak makan sehari itu. Sehingga saya berjualan getuk dan arem-arem ke sekolah. Uang hasil jualannya untuk membayar iuran sekolah saya dan adik-adik. Untuk apa malu? Saya lebih malu jika harus miskin seumur hidup!"
Pengakuan yang sering saya dengar dari mulut orang sukses. Tentang dahulu si orang sukses itu bukan orang berada. Berasal dari kampung pelosok negeri. Kemudian memutuskan merantau ke kota untuk mengubah nasib dan takdir dia dan keluarga. Keluar dari kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan dari parameter sukses dalam pikirannya yang sudah terjejal wejangan guru-guru dan harapan dari lubuk hati. Fast forward, sukseslah ia di kota.
Namun, apakah bila seseorang dari dusun sukses mengadu nasib di kota, orang-orang kampung lainnya harus mengikuti jejaknya? Misalkan, orang yang beruntung itu sukses merantau sebagai karyawan bank dan kariernya mulus, apakah tetangga di kampungnya harus jadi bankir juga? Mau sebanyak apa lagi jumlah dan jenis bank di sini kalau orang kampungnya saja kepikiran untuk bercita-cita jadi karyawan bank, padahal sawah upluk-aplak, sapi-sapi tinggal dikawin-kawinkan? Silakan ganti bank dengan skop profesi lain yang tak butuh-butuh amat tenaga kerja manusia, seperti pabrik misal yang lama-lama mungkin dikendalikan oleh robot semuanya, termasuk direkturnya.
Jarang saya lihat orang yang sukses di kampung halamannya. Jika ada pun, ya itu tidak seseksi ikon-ikon sukses mahasiswa Drop Out semacam Bill Gates, Zuckerberg dan mungkin akan diangkat lagi maskot mahasiswa Drop Out sukses lainnya entah untuk apa tujuan media itu ya. Oh, hmm. Mungkin lantaran kita, termasuk saya tentu, sangat gampang terpikat cerita-cerita underdog, from zero to hero, dari tiada menjadi berada, dari gembel kemudian setiap hari check in di hotel.
Sukses sudah menjadi komoditi seksi untuk dikomersialisasi. Buku-buku laris adalah self-help book yang kontennya sarat dengan motivasi menuju sukses. Andai kemarin Mario Teguh tabah dan fokus konsisten saja bersuper-super sampai menjelang ajal, mungkin negara ini bakal memelesat tanggalkan kemiskinan karena kepapaan sering beliau lukiskan sebagai epidemi menakutkan yang mesti segera diberantas buru-buru. Sayang sekali ia punya anak yang berprofesi sebagai seniman yang tak begitu mempan disumpal karya meme bercantum wejangan supaya pembacanya hidup menjadi orang baik yang super, namun mungkin ia sendiri lupa menjadi ayah yang luar biasa (silakan baca kata "luar biasa" dengan penuh semangat dan tangan terkepal menantang angkasa).
Selain kerja keras yang katanya adalah satu-satunya jalan suci menuju gemilang kesuksesan, saya rasa ada beberapa hal yang orang-orang sukses itu lupa share dalam setiap seminar. Mungkin sungguh lupa. Mungkin terlalu banyak yang dipikirkan. Saya sih lebih percaya mereka takut tak bakalan ngetop dan ngepop lagi kalau sering-sering suguhkan realita kesuksesan yang ternyata tidak butuh-butuh amat motivator.
1. Bacot
Semakin berisi semakin merunduk. Tong kosong nyaring bunyinya. Kendati adat ketimuran terus-menerus menganjurkan (bahkan mengharuskan) penduduknya agar lebih banyak bekerja daripada berbicara, tapi mana buktinya ya. Sejak kecil saya tak banyak berbicara, bahkan malas untuk berbicara dengan siapa pun dan lebih suka menulis, menggambar, rajin mengerjakan PR, membantu Ibu membersihkan rumah, gampang disuruh beli bumbu masakan yang habis ke warung, memapah nenek-nenek menyeberang jalan, dan opsi-opsi yang sering saya silangi pada soal pilihan ganda PPKn. Tapi saya belum sukses-sukses juga nih.
Sepertinya ada yang salah. Justru orang yang pandai berbohong gampang sekali lolos rekrutmen pekerjaan, lalu orang macam itulah yang mudah memikat atasan sehingga cepat naik jabatan. Mereka pun mudah untuk membuka usaha sendiri sebab dengan karunia mulut sefleksibel bola karet itu bukanlah tersebut sewujud effort untuk meyakinkan investor cairkan pinjaman dana usaha yang belum tentu berdayaguna. Seharusnya guru-guru saya dahulu menggelar kejuaraan bersilat lidah saja ketimbang calistung dan cerdas cermat cepat tepat yang tak ada gunanya bagi saya saat ini. Telanjur, saya sudah terlambat 25 tahun untuk memulai belajar berbicara.
Entahlah sekarang, masihkah pepatah untuk senantiasa berdiam agar kelak menelurkan emas itu masih terus diwejangkan guru-guru di sekolah? Mudah-mudahan sih masih, supaya generasi centennials mendatang tumbuh memelihara kenaifan dan tak begitu pinter-pinter amat sehingga gampang dibodohi dengan kecanggihan teknologi, jadi saya enak memperbudak merekanya juga jika kelak saya sempat cicipi kesuksesan, sebagaimana generasi X kepada saya.
2. Bakat
Orang yang lebih percaya pada kerja keras daripada talenta, ah menurut saya sih itu cuma justifikasi lantaran dia kurang berbakat. Realistis sajalah, meski konon persentasenya kecil dibanding kerja keras, bakat itu lumayan menentukan nasib. Apakah kamu pikir tukang servis komputer di Jaya Plaza tidak mau jadi setajir Bill Gates? Belum tentu Bill Gates lebih jago ngakalin kerusakan laptop dibanding Akang tukang servis yang penampilannya lebih mirip personil band metal daripada computer geek itu. Apa sih yang bikin mereka beda nasib? Mungkin pendidikan, mungkin stabilitas negara tempat ia lahir dan bermukim, dan saya percaya satu hal lagi adalah bakat.
Saya tidak memungkiri banyak sekali bakat-bakat muda di sini, bahkan di sekitar saya. Sehari-hari mereka tumbuh dengan kepercayaan diri dan harapan tinggi untuk kelak dapat seperti idolanya dalam bidang masing-masing. Sejak dini terus bersemangat mengasah bakatnya demi mencapai goal masing-masing. Tidur sedikit. Jarang bergaul. Habiskan masa muda dengan angka dan kata. Tapi kenyataannya, sebatas bakat tidak cukup. Setelah menyadari, ternyata malah balik lagi ke poin pertama: harus jago bacot juga.
Budaya dan latar belakang negara tentu menentukan keahlian berbicara di depan umum untuk meyakinkan investor atau katakanlah user, misal, dalam suatu penyaringan tenaga kerja. Orang luar sudah terbiasa untuk sekadar mengutarakan pendapat kepada orang lain. Namun di sini tidak begitu, biasanya. Seseorang dengan bakat lumayan pada masa kecil tumbuh dewasa dengan segala ketakutan yang ditransfer oleh orang-orang lebih tua dan berkepentingan. Jadilah waktu mendewasakan usianya namun gagal mendewasakan bakatnya. Talent hunter tentu memilih sosok yang gampang diajak berbicara sebab dengan cara apa lagi satu sama lain bekerjasama dan berkompromi jika tidak dengan berkomunikasi. Karena lebih mudah mengidentifikasi keahlian bacot daripada bakat yang sering kali hanya terkubur dalam palung hati seseorang, bahkan mungkin ia sendiri tidak sadar dianugerahi bakat itu.
3. Beungeut
Awalnya saya pikir manusia berparas cantik dan ganteng itu cuma laku di sinetron dan model reklame saja, atau setidaknya industri lain takkan begitu mendiskriminasi penampilan termasuk postur tubuh. Setelah saya alami, rupanya faktor beunget ini lumayan berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang dalam bidang masing-masing. Jumlah orang ganteng dan cantik di kampung sepertinya tidak terlalu melimpah layaknya di kota. Yah mungkin karena tampil menawan sepanjang hari itu butuh modal, sementara mereka untuk memutuskan membeli antara baju bola KW3 atau beras raskin pun mikirnya sampai setahun. Keburu nikah dan punya anak, sebelum sempat mengukir wajah sendiri.
Jikapun orang sukses itu sering digembar-gemborkan berasal dari kampung pinggir jurang, saya yakin status mereka lumayan terpandang di mata penduduk kampungnya. Paling tidak, bapaknya tokoh masyarakat semacam ketua RT, atau setidaknya juragan kambing. Hanya, karena dikomparasi dengan penduduk perkotaan yang profesinya aneh-aneh dan berpenghasilan berdigit-digit, tentu saja kalah mentereng dan media menakar dia berasal dari keluarga sederhana.
Baiklah. Ganteng dan cantik itu katanya relatif. Tapi untuk apa kita menyertakan potret wajah saat mengajukan lamaran pekerjaan? Katakanlah itu bertujuan agar mereka dapat menghafal wajah kita sebelum benar-benar bersuamuka secara langsung. Saya agak ragu dengan alasan ini. Beberapa kali saya dengar, wajah adalah cerminan jiwa. Ini sungguh sial karena wajah saya bila saya tilik lama-lama di depan cermin malah mirip debt collector, dan lebih sial lagi, saya tidak pernah melamar ke leasing. Pantas saja pabrik-pabrik menolak saya, mungkin takut dipalak.
Dan yang saya amati, orang cantik cenderung effortless dalam memperoleh pekerjaan untuk kemudian meniti karier menuju puncak, sebelum disarankan untuk berhenti bekerja dan mengurus anak dan rumah saja, dan ini jarang sekali karena banyak yang memilih udahan daripada setiap hari mengelola jemuran yang bukan passion dia. Paling tidak dengan wajah seberuntung itu lebih mudah untuk meyakinkan orang lain. Ini memang menyakitkan. Namun mau bagaimana lagi? Tapi saya pikir ulang, faktor beungeut ini sebanding dengan bacot. Yang cantik bisa saja bego, tapi yang pandai berbicara biasanya cukup rapi dalam melipat kebodohannya. Betapa beruntung yang punya keduanya.
4. Bokap
Wuah. Tentu saja faktor terakhir inilah yang paling penting tunjang kesuksesan. Kuliah di ITB apalagi MIT dan Harvard itu bukan cuma butuh otak yang cerdas. Butuh wawasan untuk susun strategi perihal bagaimana cara-cara menembus tembok tebal kampus itu yang ternyata banyak pintu lain termasuk jalur tol, butuh mental badak yang tidak gampang panas dengan perkataan orang, dan tentu saja biaya yang hmm kamu tahu sendirilah. Lantas dari mana diperoleh semua itu? Orangtua. Stabilitas keuangan keluarga. Sementara, faktor keharmonisan keluarga masih nomor dua atau mungkin lima. Bagi yang biasa-biasa saja, sudahlah. Kecuali jika kamu adalah seorang spesial di antara puluhan juta, tentu dengan perjuangan meyakinkan pejabat kampus itu bahwa kamu cukup berbakat. Dan selain bakat, tentu butuh keahlian bacot mumpuni.
Katakanlah enggan kuliah karena lulus SMA lanjut kuliah itu sudah mainstream, dan karena kamu orang kaya kamu ingin terpandang lebih hipster senantiasa. Mau berwirausaha saja. Tentu lebih mudah bila mempunyai orangtua yang setiap harinya tidak perlu resah memikirkan jas hujan bocor karena kehujanan pulang-pergi ke kantor naik motor. Cukup minta satu anak perusahaan saja. Sudah tersebut wirausahawan muda. Mudah kan. Tapi untuk sukses, tentu butuh 3B sebelumnya. Tapi, apa sih yang tidak bisa ditebus dengan uang? Maka dari itu saya merasa B terakhir ini cukup krusial, yang membuat populasi orang sukses di dunia ini tetap sedikit dan terlestarikan sebagai sosok-sosok istimewa yang katanya sih patut diteladani.
Menjadi sukses memang berkesan seksi. Namun bagi saya saat ini, lebih nyaman untuk sering-sering ngaca dan sadar diri. Demikianlah, saya sudahi saja khotbah saya kali ini. Kalau saya cukup pandai berbasa-basi (termasuk berbasa-basi menutup tulisan ini), mungkin saya takkan kepikiran untuk buang-buang waktu menulis di sini.[]