Memasuki masa-masa sulit awal tahun ini, saya menemukan lagu-lagu lama yang baru saya sukai. Mulanya sering mendengar Adriano Qalbi dalam Podcast-nya menyebut dan nobatkan Humania sebagai band Indonesia yang beda, keren, bahkan mendahului zamannya. Penasaran, saya pun coba mendengarkan. Ternyata setelah saya setel, kakak saya bilang, "Buset, itu mah lagu pas kamu baru lahir. Zamannya MTV baru muncul di Indo dengan VJ Jammie Aditya dan Sarah Sechan." Mungkin Humania memang mulai getarkan industri musik sekitar masa itu, periode awal 90an.

Apa yang bikin Humania itu keren? Entahlah. Saya juga bingung apa sesungguhnya yang bikin lagu-lagu Humania ini deep banget bagi saya. Padahal saya terlahir beda zaman sama duo Eki dan Heru itu, beda satu generasi. Tentu kegelisahan kami tidak sama-sama amat. Saya coba amati liriknya. Tidak ada diksi aneh-aneh dan puitik banget semacam lagu-lagunya Kla Project. Liriknya cenderung literal sehingga mudah dipahami dan diikuti, tapi jangan salah, belum tentu gampang untuk dinyanyikan sendiri, karena loncatan nada mayoritas lagu Humania rawan timbulkan fals.

Warna suara Eki dan Heru, saya yakin, kalau sekarang mencoba peruntungan di ajang pencarian bakat, enggak bakalan lolos audisi ke Jakarta. Minim improvisasi, minim eksplorasi yang saya pikir emang gak guna dan sia-sia aja sih suara emas itu kalau lagunya "kosong" mah. Suara mereka terdengar sangat manusia, sebagaimana nama bandnya, tidak seperti suara artifisial hasil rekayasa elektronik dari band, solois, dan trio terkini. Kalau tinggi ya tinggi, lurus, tanpa diliuk-liukkan mengemis tepuk tangan. Saat berada pada not sedang, ya datar-datar saja mengikuti irama musik.

Namun barangkali karena ketelanjangannya itu, lagu-lagu Humania menimbulkan kesan mendalam, menurut saya. Mereka punya lagu-lagu yang aroma skeptisnya menyengat, sangat realistis dan seakan dekat dengan peristiwa sehari-hari di sekitar saya. Namun ada beberapa judul yang membuat saya menemukan kembali spiritualitas, esensi hidup, bahwa saya tidak punya apa-apa di sini dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini.

Semuanya itu dikemas apik bersama aransemen yang super keren! Kadang benak kebawa melayang ke awang-awang, kadang turut menertawakan keanehan dunia bebal ini, dan tak jarang saya nangis sendirian. Sungguh, enggak salah kalau banyak yang mendaulat Humania sebagai band yang muncul terlalu cepat lampaui zaman. Menurut saya sih, tepat-tepat aja. Yang freak itu produser yang melulu mengendus pasar ketimbang mikir panjang efek berkepanjangan.

1. Jelita

Lagu yang saya sebut-sebut membuat benak saya melayang ke awang-awang. Hati yang kosong dan pikiran yang penuh mendadak bersirkulasi menyeimbangkan kapasitas ideal keduanya. Tafsiran saya, Jelita adalah lagu persembahan untuk ibu kita masing-masing, atau untuk pacar, istri, siapa pun yang terlahir sebagai wanita. Tanpa kehadiran kaum wanita, mustahil kita dilahirkan dan tumbuh dengan baik, sebab sekuat apa pun laki-laki, belum tentu setabah wanita. Tanpa ketulusan mereka, alih-alih melahirkan, memutuskan untuk menjalin pernikahan pun enggan, mungkin. Berkat kejelitaan wanita, dunia jadi lebih bernuansa.

2. Terserah

Wow! Ternyata ada lagu yang seberani dan seapaadanya "Terserah". Begitu kesan yang membekas usai mendengarkan lagu ini. Lagu yang menjadi hits song Humania saat pertama kali berkarya di sini. Mengudar kekesalan terhadap pacar yang posesif, apa-apa maunya diturutin, ke mana-mana penginnya ditemenin, kita jadi tidak punya kehidupan dan hanya punya satu kehidupan: yaitu bersama dia doang, melayani dan menunaikan segambreng keinginannya seolah kita adalah sopir dan tukang kebun dia.

Biasanya lagu cinta di sini, bahkan sampai sekarang, lagu rock sekalipun, mayoritas berkesan memuja-muja wanita, mengemis-ngemis cinta padanya. Tapi Humania tiba-tiba menggebrak dengan lirik skeptis macam itu. Konon Eki menciptakan "Terserah" saat berusia 24. Yah, mungkin usia-usia segitu kegelisahan tentang cinta bukan lagi mengeksploitasi kengenesan sendirian pada malam Minggu. Ada masanya kita merasa fucked up terhadap seisi hidup ini termasuk sama pacar yang sudah lama dipacari, sehingga daripada kondisi jiwa makin gawat, kita memutuskan untuk menjalani dan menyelesaikan masalah hidup sendiri saja. Bukan semata mencari kebebasan hakiki, karena itu takkan pernah ada. Ah ya udahlah.

3. Ya Udah

Kalau band lain menggubah lagu bertopik sama dengan "Ya Udah", mungkin hasilnya akan jadi lagu yang super mellow dan untuk dinyanyikan penuh penghayatan. Menyoal tentang debar-debar hati laki-laki saat terpikat sosok perempuan pada pandangan pertama, ketika rekah senyumnya merampas akal sehat, namun kemudian berujung pada sikap dingin si perempuan. Tak indahkan sedikit pun hadir si laki-laki, melirik pun tidak. Mungkin karena si perempuan belum tahu laki-laki itu siapa, dia cuma melihat dari penampilan yang mungkin tidak terlalu menarik. Tapi ya udah, setelah dicuekin, si laki-laki pilih mundur saja.

Eh, ternyata suatu hari, si perempuan malah balik suka sama dia. Mungkin karena sudah tahu latar belakang laki-laki itu, jadi tak lagi memandang ia sebelah mata, justru membeliak ingin segera ditembak. Tapi karena si laki-laki telanjur mundur dengan sikap bodo amat dan sudah kadung tahu bahwa perempuan itu mencintainya pun dengan syarat, dia pun tidak merasa perlu untuk menyukai perempuan itu sebagaimana awal mula ia penasaran memandangnya.

4. Persembahan

Nyanyian dibuka paduan suara anak kecil pada bait pertama, kemudian bait selanjutnya disambung vokal Eki, lantas seterusnya bernyanyi bersama-sama. Mengungkap rasa syukur atas nikmat kemerdekaan pada Yang Kuasa. Lagu "Persembahan" mungkin memang persembahan istimewa Eki dan Heru teruntuk negerinya yang sedang berulangtahun kala itu. Lagu yang cukup menggetarkan sedari awal sampai akhir, dan salah satu lagu Humania yang membuat saya sadar untuk apa dilahirkan. Konon ada fans Humania yang pindah agama berkat lagu "Persembahan".

5. Kuasa

Sejujurnya saya cenderung selalu berusaha agar tidak mudah tenggelam dalam suasana haru, dalam bentuk apa pun, termasuk rasa haru yang terbangun oleh lagu. Tapi ketika lagu "Kuasa" terputar, air mata saya mendadak banyak menetes. Begitu saja, padahal biasanya tak segampangan itu. Sampai akhir lagu saya masih tergenang kenang tentang segala rupa yang pernah saya lakukan sebelum hari itu. Dan Humania bagai tidak ada usaha sedikit pun untuk melebih-lebihkan rasa sadar dirinya pada Sang Pencipta. Mengalir saja, sebagaimana lagu mereka lainnya. Tanpa pretensi.

Sebab setelah diputar berulang-ulang dan saya coba telaah liriknya, tidak ada yang spesial. Tidak ada bedanya dengan lagu-lagu religi lain, bahkan jika dibanding lagu rohani yang bener-bener rohani, tentu eksposisi tentang pengakuan dosa-dosa makhluk pada Tuhan jauh lebih detail lagu rohani ketimbang ini. Suara vokal perempuan (pada lagu ini Eki tidak menyanyikan lagunya sendiri) yang teknik vokalnya tidak sewow Raisa namun begitu cocok lengkapi dan warnai aransemen dan makna lagu, sungguh menyayat hati dan mengundang penyesalan pada masa lalu hadir kembali saat ini dan seolah bilang, "Sudah, keputusan yang diambil pada masa lalu tak usah lagi disesali."

Sampai hari ini, saya masih suka menunggu-nunggu giliran lagu ini terputar dalam playlist saya saat bekerja atau pun sesampai di rumah. Jika lagu "Jelita" selalu bikin benak saya mengambang di awang-awang, selanjutnya pada lain waktu "Kuasa" berhasil memapah arwah saya sehingga seakan dekat sekali dengan yang di Atas.[]