Masih punya foto-foto hasil afdrukan dari rol film?

Di rumah orangtua saya masih tersimpan beberapa album foto dari tustel analog. Terakhir mungkin hasil potretan sekitar 2003 atau 2004. Saat itu kamera saku digital sudah marak dijual di Indonesia, tapi masih mahal, lagi pula kualitasnya belum bisa dibandingkan dengan kamera saku film. Kalau saya ingat lagi masa-masa itu, berarti saya masih SMP. Pubertas lagi tinggi-tingginya, masa-masa mulai merasakan ditolak cewek dan baru sadar kalau cuma Ibu yang bilang saya ganteng.

Kala itu, saya suka membolak-balik album foto lama. Lebih jadul dari 2000an. Mungkin 80-90an. Saat paman-paman dan bibi remaja masih tinggal di rumah Kakek. Di dalam potret itu, kakak-kakak saya mungkin ada yang sudah SMP, SD, ada pula yang masih digendong ibu saya. Tentu saya belum lahir. Kelebihan foto-foto hasil cuci-cetak pada masa itu biasanya frame foto tidak penuh oleh gambar, menyisakan bingkai warna putih, di pojok kanan bawah bingkai itu mencantumkan bulan dan tahun foto itu dicetak (atau waktu pemotretan, saya kurang tahu pastinya).

Foto yang saya amati dalam cerita di atas bercantum tahun 1984. Berarti saya baru lahir tujuh tahun kemudian. Paman saya yang satu berambut gondrong sebahu, mengenakan kaus biru navy ketat bercorak tiga garis putih di bahu, dan tentu saja kumis lebat. Paman yang lebih muda berkemeja putih longgar, kulit gelap (mungkin belum tersedia Biore khusus laki-laki), bertelanjang kaki. Selainnya adalah kakak-kakak saya yang masih bocah dan remaja, serta orangtua yang masih muda.

Berkali-kali saya mengamati foto-foto dalam album tersebut, berkali-kali timbul keinginan untuk dapat masuk menembus ke dalam lembar foto itu. Merasakan bagaimana suasana yang sedang mereka alami saat pemotretan. Menyapa ibu saya dan memperkenalkan diri bahwa saya adalah anaknya tujuh tahun mendatang yang kelak menggagalkan program KBnya. Mengajak tos paman-paman saya yang saya yakin usianya tidak jauh dengan usia saya sekarang, atau bahkan lima tahun lebih muda, kemudian menghadiahi mereka kaus My Trip My Adventure. Setelah itu mengajak kakak-kakak saya yang masih kecil bermain Pokemon Go.

Sering pula saya membayangkan apa topik yang sering mereka perbincangkan saat itu. Apakah keresahan mereka sama dengan saat ini? Membahas pemilihan kepala daerah yang bukan daerah pilihan mereka? Saya yakin tidak. Sepengetahuan saya televisi hanya ada TVRI dan itu pun mengudara pada jam-jam terbatas tidak seperti sekarang yang pada bablas. Arus informasi diatur oleh pemerintah. Tidak ada kebebasan. Seluruh berita harus tervisualisasi positif. Sehingga semua orang kala itu membenci acara berita malam dari saluran nasional yang suka ujug-ujug memangkas serial Oshin. Jadi hiburan apa sih yang dipetik dari menggosipkan politik, mungkin demikian pikir mereka.

Sepertinya obrolan mereka tidak jauh dari rencana piknik minggu depan ke Goa Pawon atau gerak jalan ke jalanan yang baru diaspal. Hari itu mau botram di mana, sama lauk apa saja, siapa yang bikin sambal, siapa yang beli ikan asin, siapa yang meniup bara di hawu. Atau yang agak serius paling sudahkah menyapu halaman belakang, karena banyak sekali guguran daun dari pohon-pohon rindang di sana, untuk kemudian dibakar sendiri sambil membakar singkong.

Obrolan yang tidak jauh-jauh dari keseharian. Mungkin karena terbatasnya daya jangkau informasi. Mereka memilih menyapu daun-daun kering padahal itu tidak semudah menyapu layar gawai sambil tiduran. Koran-koran cenderung hati-hati memberitakan. Selain tuntutan penguasa, lagi pula berita hoax kemahalan untuk dicetak dalam kertas setiap hari.

Dan apakah kamu tergolong orang yang ingin sekali masuk ke rentang masa lalu untuk kemudian mengubah keputusan yang kelak berbuah penyesalan saat ini agar masa kini dan mendatang berjalan seperti yang kamu harapkan? Bisa saja. Tapi boleh jadi apa yang kamu cicip saat ini, jikapun kamu ubah elemen-elemennya pada masa lampau, adalah hasil kelakuan kita mengubah-ubah seenaknya. Waktu hanya dapat berjalan maju, lampaui batas-batas ruang harapan.[]