Kalau dulu tak sempat mengenal karya-karya Pak Sapardi, mungkin saya masih menganggap sastra--atau berkarya secara umum--itu harus adiluhung, berat, bertema besar, ruwet, dan pamer teknik. Puisi-puisi Pak Sapardi itu sangat mudah dicerna bahkan bagi orang yang tidak suka puisi, tetapi setelah direnungi lebih jauh, ternyata maknanya sangat dalam.

Prinsip beliau jugalah barangkali yang memengaruhi bagaimana saya menulis tulisan jenis apa pun, dan sepertinya berpengaruh juga terhadap gaya desain saya yang "gak neko-neko, gak usah pamer teknik, yang penting maknanya sampai".

Hal yang paling berkesan adalah beliau itu profesor sastra, tapi tidak arogan dan sangat terbuka dengan "penulis muda wanna be" macam saya dulu. Sebab setahu saya, cukup banyak sastrawan yang arogan tapi karyanya biasa saja.

Namun karena keterbukaan beliau terhadap anak muda yang antusias dengan dunia kepenulisan, beliau sering dicemooh segelintir orang sebagai "pengayom anak senja" lantaran diksi senja atau puisi senja beberapa tahun ini sudah tergolong pop culture seiring maraknya tren kedai kopi.

Bagaimanapun, sumur yang dalam tetaplah dalam, tetap teguh menampung air jernih, meski dari permukaan kelihatannya kecil, berlumut, terbengkalai, sehingga enggan dijamah oleh orang lain pada mulanya karena dianggap tak berguna, kemudian baru ramai-ramai dihampiri dan dinikmati saat ada seseorang yang menyadari terdapat sumber air jernih yang menjernihkan di dalam sana.

Selamat jalan dan terima kasih, Pak Sapardi.[]