Yang Penting Meeting
Sempat saya berpikiran bahwa setiap pekerjaan, apa pun jenisnya, harus dilakukan secara serius di balik meja, untuk kemudian dipresentasikan melalui pidato formil di depan direktur bahkan ratusan orang, setiap hari. Ternyata, hampir semua pekerjaan selalu bermula dari ngobrol biasa dan bertemu dengan berbagai kalangan mulai hierarki bawah sampai atas. Sekarang saya masih kaget karena cukup dengan ngomong doang, orang-orang toh bisa bikin dapur mereka ngebul.
Padahal dulu, kakek saya selalu bilang bahwa diam itu emas. Kata beliau, jadi orang jangan kebanyakan ngomong, ketawa, dan pecicilan. Tapi ternyata dengan melakukan hal-hal tadi pada saat ini, orang-orang jadi sanggup melunasi cicilan. Sepertinya saya kurang pas hidup di era serba terbuka seperti sekarang di mana segala hal dapat diselesaikan cukup dengan cuap-cuap. Masih kudu belajar banyak ngomong deh biar bisa survive.
Beberapa bulan lalu saat masih kerja di Bandung, biasanya saya meeting sebulan sekali sama bos. Meeting, sebagaimana artinya secara harfiah, ya memang cuma bertemu. Ketemuan. Sama saja dengan ketemu sama pacar atau perempuan yang kamu sukai. Kadang beneran serius, sesekali dead air, stuck mau ngomongin apa, atau malah lebih sering haha-hihi-nya. Yang membedakan cuma kontennya. Semuanya tentang pekerjaan. Bukan tentang perasaan. Yang muaranya adalah bagaimana menghasilkan uang lebih banyak dengan usaha dan modal lebih sedikit.
Pada hari sebelum meeting, tentu saja saya harus mempersiapkan data-data yang sekiranya bakal bos tanyakan. Apa saja masalah yang sedang terjadi, masalah yang sudah dapat teratasi, dan rencana-rencana perbaikan ke depan. Pada malam harinya, hebat banget kalau saya bisa tidur nyenyak. Padahal tidak ada apa-apa, dan perbaikan masalah mulai kelihatan progresnya. Tapi tetap saja deg-degan, meskipun meeting ya tidak jauh-jauh dari ngobrol, makan, ngobrol, makan, pulang.
Interaksi. Mungkin ini yang dilupakan sekolah-sekolah dan mungkin juga orangtua (sok tau banget, jadi orangtua aja belum). Pendidikan bukan sekadar mengerjakan soal, menjawab pertanyaan, memastikan kuku pendek, seragam rapi, rambut tidak melewati kerah. Ngobrol itu saya pikir sama pentingnya dengan matematika. Menghitung hasilnya dapat diprediksi, tapi brainstorming bisa berbelok arah ke mana-mana, ke tujuan yang tidak terduga sebelumnya. Salah menghitung dapat dimaklumi oleh minus beberapa poin, tapi salah mengambil keputusan bisa-bisa berujung pada saling tuding menyalahkan. Tidak setiap urusan dapat mudah dikendalikan sendirian.
Gara-gara asumsi saya sendiri, saya sempat membayangkan bagaimana kalau karyawan restoran pizza cepat saji sedang meeting, katakanlah meeting evaluasi mingguan.
Leader : "Payah! Kemarin gue perhatiin masih banyak pengunjung yang duduknya kelamaan padahal menunya udah habis. Meja-meja penuh! Lo gak liat apa di luar banyak calon pengunjung yang gak jadi mampir gegara meja-meja kita masih kelihatan penuh sesak? Boro-boro efektif! Kalian ngapain aja, sih?"
Pelayan A : "Maaf, sebetulnya saya udah berkali-kali datengin mejanya dan bilang 'Sudah boleh diangkat piringnya, kakak?' Tapi gimana lagi, Mbak, piring, mangkok dan gelasnya udah saya ambil semuanya, lah terus kalo saya dateng ke situ mau minta izin ngangkat apa lagi dong, Mbak?"
Leader : "Ah elah, gitu aja nanya! Apa kek, lo minta izin ngelap mejanya, atau sekalian aja tawarin 'Mau pesan menu apa lagi kakak?'. Pokoknya ganggu terus! Jangan ampe dia tenang dan nyaman sehingga dia makin betah duduk di situ! SOP kita kan sejak mulai penyajian ampe pelanggan selesai makan waktunya paling lama cuma boleh 40 menit. Kalau pengunjung kelamaan duduk, gimana ceritanya kita bisa lewatin target "Sejuta Pengunjung dalam Setahun" dari manajemen! Seneng kalo posisi gue gak aman gara-gara gue miss target?"
Pelayan B : "Semua salah kami, Mbak. Besok-besok akan kami evaluasi. Maklum Si A masih baru, belom 3 bulan di cabang sini. Dia urusan saya. Nanti Si A saya OJT lagi."
Leader : "Halah, mau nunggu berapa tahun lagi sih? Kita butuh yang cepet-cepet! Kalo lo gak bisa berkembang, A, cari sono warung tegal, gak usah kerja di sini!"
Pelayan C : "Baik, Mbak, besok-besok saya bakal terus monitor pengunjung. Terutama pasangan abege-abege yang cuma numpang pacaran. 80 persen sih yang lama duduknya ya mereka-mereka ini. Cuma pesen sensasi delight aja gayanya udah kayak pacaran di restoran Prancis. Yang kayak gitu-gitu tuh yang kudu kita ganggu secara ekstra biar gak merasa nyaman duduk lama-lama.
Leader : "Nah, gitu dong. Cuma lo doang kayaknya yang masih terkualifikasi sebagai pelayan di sini. Lo berdua mah taik lah, bisanya cuma nyemilin serpih-serpih smoke beef, pinggiran pizza, sama paprika sisa konsumen!"
Pelayan C : "Semua ini berkat arahan dan bimbingan Mbak."
Mengerikan, tapi saya rasa masih logis. Semua orang memang punya target masing-masing. Sesuai tuntutan hierarki atasnya masing-masing. Mau bagaimana caranya terserah, asalkan risiko ditanggung masing-masing. Terpenting, berbagai masalah sepertinya dapat diselesaikan cukup dengan meeting?[]