Saya ingin sekali saja merasa nyaman. Rasa yang hangat terperam di dalam hati adalah cemas. Bukan rasa nyaman. Apa lagi aman. Lama, dan ke sana ke mari saya telusuri, tak kunjung menemukan. Seperti mencari jodoh yang cocok, mungkin kita cuma sedang berbodoh-bodoh memburu bayangan kita sendiri. Konsep mencari jodoh sudah mulai terkesan bodoh. Saatnya membentang jalan sendiri untuk temukan orang lain, bukan bayangan diri.

Ciptakan rasa nyaman bagaikan orang zaman dulu yang lebih suka memasak sendiri daripada membeli. Lebih sehat dan alami tanpa penyedap artifisial. Entahlah kalau nanti Unilever mulai menghidu peluang untuk mengkapitalisasi rasa nyaman. Mungkin bakal muluskan kita dalam membeli se-sachet kenyamanan yang bergelantungan rapi pada seutas kawat di warung sebelah rumah. Lama-lama ada kenyamanan berformalin; yang lebih tahan lama.

Rasa nyaman pun, mungkin, hanya dapat dibikin sendiri-sendiri, dan memang sebaiknya dikonsumsi sendiri-sendiri. Berbagi kenyamanan sering didaulat riya. Menabur kenyamanan maupun menebar kebencian sama-sama dihakimi massa. Satu-satunya media pemerataan kenyamanan yang dapat kita kompromikan mungkin hanya lewat nada-nada. Iya, nada-nada yang sama-sama kita unduh dari internet itu. Tanpa internet, apalah saya ini, mungkin sepanjang usia cuma hafal nama-nama Menteri Kabinet Pembangunan VI.

1. Oasis - Don't Look Back in Anger

Memaknai maksud lagu ini sebagai hal-hal yang sudah telanjur kita perbuat kemudian sesali, sebaiknya lupakan. Dan bersabarlah. Sering kita begitu ingin mencari tempat berlabuh yang paling nyaman dan aman. Kenyataannya, sesuatu yang tampak menakjubkan akan perlahan-lahan memudar. Jangan lihat belakang, setidaknya untuk hari ini. Besok, ucapkan lagi: jangan tengok yang sudah berlalu, lagi, setidaknya untuk hari ini. Sampai akhirnya benar-benar melupakan.

2. Prince - Purple Rain

Entahlah. Hujan ungu saya tafsir semacam kebahagiaan, tentu saja ini lekat dengan kenyamanan. Terlampau sering bersama-sama dengan seseorang tanpa pretensi apa-apa. Hanya ingin melihatnya senantiasa tertawa. Hanya ingin saksikannya selalu bermandi kebahagiaan. Lebih berminat berperan sebagai teman daripada sekadar selingan akhir pekan, meski waktu terus bergulir. Demi terjaganya keutuhan pertemanan. Demi kebahagiaan dia seorang. Padahal, siapa tahu perasaan yang paling nahas berkorban? Wow... Prince, damailah di sana.

3. Sting - Take Me to The Sunshine

Bekerja, bekerja, bekerja. Memangnya kata kerja "bekerja" ini benar-benar bekerja dalam kehidupan kita sehari-hari? Orang tergila-gila bekerja sepanjang tahun. Hasilnya, polusi udara dan polusi suara melengkapi kegilaan kota tempat mereka bekerja. Terlalu banyak bertemu orang setiap hari namun tidak punya teman untuk sekadar bertukar cerita. Lagi-lagi, pancaran kepedulian orang lain adalah kefanaan yang perlahan akan melamur. Kemudian menyadari, hanya sinar matahari yang benar-benar tulus distribusikan energi pada semesta tanpa hitung-hitungan efisiensi neraca energi.

4. The Rolling Stones - You Can't Always Get What You Want

Perempuan yang semula kita cintai, akhirnya memilih bersama orang lain pada momen resepsi pernikahan. Pekerjaan yang diidamkan sejak kecil tidak kunjung datang sebagai takdir. Pemerintah yang sedari dulu tak pernah memuaskan rakyat (padahal itu adalah satu-satunya pekerjaan mereka) walau telah berganti-ganti pimpinan dengan menjual segembol harapan. Sebab kau tak selalu diizinkan untuk peroleh apa yang kau inginkan. Mungkin yang sesungguhnya kau butuhkan, lebih butuh untuk kau inginkan mulai dari sekarang, daripada yang semula kau cita-citakan dan perjuangkan sebagai keinginan.

5. Sting - Shape of My Heart

Segelintir orang anggap perjudian (dalam arti sebenarnya) adalah meditasi. Memang, hidup pun tumpat dengan perjudian, dalam rerupa pilihan untuk kemudian bebas kita ambil dan tentukan. Obyek berlian mungkin sebanding dengan uang dan ketenaran. Yang diperebutkan banyak orang. Namun Sting merasa itu bukan dirinya, setelah sempat ia mencoba dan berdiri di puncak sana, tentu saja. Ia merasa tidak punya banyak koleksi topeng, yang ia punya dan kenakan cuma satu: wajahnya.

6. Oasis - Stop Crying Your Heart Out

Membujuk kita agar bangun dari keterpurukan. Lupakan yang sudah terjadi dan apa-siapa telah melenggang pergi. Sebab, kata Noel Gallagher, berjuta bintang-bintang yang bersinar, perlahan pun akan mengabur jika malam berlalu dan siang menjelang lantaran memang sudah saatnya. Tenang saja, besok-besok, kita dapat menikmati pendarnya kembali. Sebelum itu, cukup lanjut menempuh hari-hari melalui jalan yang sesuai, berlandas diri.

7. Dream Theater - The Spirit Carries On

Kehidupan memang akrab dengan pertanyaan. Kenapa kita dilahirkan? Dari mana kita berasal? Apakah ada kepastian dalam hidup ini, sehingga kita tak usah lagi bertaruh memperjuangkan hal-hal yang belum tentu berhasil kita gapai pada suatu hari nanti, sehingga kita bagai berjudi setiap hari? Segenap pertanyaan barusan takkan pernah berbuah jawaban yang pasti, sebab yang pasti di dunia ini hanyalah ketidakpastian. Yang dapat kita lakukan adalah: percaya dan iman. Mengimani bahwa akan ada kehidupan pasca kematian nanti. Dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban tadi, lebih dari cukup untuk paparkan makna dari hidup ini.

8. Bob Dylan - Blowin' in The Wind

Mendengarkan sekaligus memahami lirik Blowin' in The Wind mudah sekali. Mungkin inilah mengapa sangat sulit penyanyi zaman sekarang menyamai kejeniusan Bob Dylan, terlebih dengan sama-sama bersuara sumbang di tengah tuntutan kesempurnaan. Pendewasaan sebagai seorang laki-laki yang mesti mulai membiasakan diri untuk menempuh jarak sejauh-jauhnya. Mendongak langit lebih sering. Mendengarkan lebih banyak suara. Memahami sekitar lebih dalam. Satu-satunya jalan pintas, hanya dengan melakukannya.[]