Penderitaan bagi saya adalah terlampau lama bertemu dengan seseorang atau orang-orang, dalam rangka urusan pekerjaan sehari-hari atau silaturahmi sesekali. Jika terpaksa harus melakukan hal tersebut, biasanya sepulang dari suatu pertemuan, saya suka sakit perut. Karena terlalu lama menahan kentut, dan perjumpaan di restoran sambil makan dan minum bersama, tentu saja memperparah keadaan. Dan ketahuilah, ini cukup menggelisahkan.

Apalagi jika kantor atau lokasi perjumpaan merupakan ruang berpendingin udara, dan letak kamar mandi dekat sekali dengan ruangan di mana orang yang saya kenal sedang hangat-hangatnya berdiskusi. Untuk membuang angin di kamar mandi pun, saya merasa malu dan khawatir andai ledakan dari pantat yang mana saya tahu akan ber-output stereo atau syukur-syukur nir audio, bocor ke luar kamar mandi sehingga kedengaran oleh orang lain. Mungkin bagi petugas penunggu toilet, suara kentut maupun "plung" sebanding dengan ketokan palu dan gemuruh gerinda bagi tukang mebel, yang menandakan bahwa hari itu mereka lumayan produktif jalani ikhtiar hidup.

Hal ini yang bikin saya malas ketemu orang bila tidak penting-penting amat. Sebab sekalinya ketemu, biasanya tidak sebentar, dan tidak enak kalau saya permisi pulang duluan. Jadi, kalau tidak siap-siap amat untuk bertahan, mending urung sekalian. Saya malu bila suatu saat harus dioperasi dengan diagnosis gangguan perut akibat keseringan menahan kentut. Penyakit ini tidak lebih keren dari kanker dan leukemia, yang sering jadi konflik internal cerita-cerita fiksi itu.

Kenapa selalu timbul kecemasan terkait hal sesampah kentut, saya masih bingung. Dan mengapa kegiatan membuang angin yang sering kali terjadi secara impulsif dan tak dapat direncanakan secara matang, merupakan hal tabu? Padahal menurut saya, meludah sembarangan jauh lebih barbar, dan saya heran orang-orang yang saya temui sehari-hari lebih sering ketahuan meludah sembarangan daripada membuang angin (mungkin lantaran di jalan, polusi dari emisi bahan bakar jauh lebih ganas daripada busuk kentut, sehingga hidung saya luput mengidentifikasi).

Apalagi pengendara yang serampangan meludah di tengah perjalanan di depan saya, suatu hari setang motor dan sarung tangan sebelah kanan saya pernah terciprat sedikit air liurnya, dan itu lebih menjijikkan dibanding terpaksa hirup kentut seseorang, sebab jika sikap toleran dan empati sedang tak berkenan, cukup saya menghindar dari pekat aroma itu, semisal keluar dari ruangan tempat kami berada untuk mencari udara netral yang lebih melimpah di luar. Sementara air liur, bisa saja mengandung kuman-kuman penyebar wabah melalui media udara yang saya tak tahu seberapa cepat dan awet tingkat penyebaran penyakit suatu ludah.

Saya percaya dalam seciprat air liur terkandung rupa-rupa virus dari sosok peludah. Tapi kentut? Bukankah kentut cuma angin yang numpang lewat dari perut ke lubang dubur begitu saja, dan angin dari perut yang sejatinya netral terkontaminasi menjadi sengit karena mesti pula lalui pasokan tinja, lantas lekas bergabung dengan udara sekitar, hanya tenggat penetralan di udara bebasnya saja yang berbeda-beda sehingga cukup mengganggu pernapasan orang sekitar. Apakah kebiasaan membuang angin harus selalu tergolong perilaku yang tabu?

Saya menunggu riset ilmiah perihal tinjauan fisiologis dan sosiologis perilaku membuang angin sembarangan kelak memperoleh penghargaan Nobel. Segera.[]