Sabtu sore kemarin, sepulang menemani istri yang menghadiri suatu acara di sebuah kafe, kami memutuskan mampir ke mal sebentar.

Di dalam mal, anak dan istri masuk ke wahana bermain, saya izin melipir ke toko buku.

Sebagaimana biasa masuk ke toko buku; sebuah ritual yang begitu menyenangkan hati saya sejak belasan tahun lalu, rak pertama yang saya hampiri yakni rak novel, cerpen, dan sastra. Banyak sekali penulis-penulis baru berbekal karya terbaru nangkring di susunan rak tersebut. Di sisi lain, penulis-penulis senior yang tak kalah saing dalam menelurkan karya-karya terbaru, maupun versi cetak ulang dari karyanya terdahulu, juga masih setia menghiasi rak; melambai-lambai minta dibeli siapa pun yang menghampiri.

Buku lekat dengan jalan hidup dan mungkin guratan takdir saya saat ini sedemikian rupa. Saya ingat masa sekolah dan kuliah, di mana beli buku adalah sebuah kemewahan. Untuk mendapatkannya, saya harus mengirit uang makan, dan tentunya lupakan makan enak di kafe seperti orang-orang lain. Bagi saya lebih baik bisa beli dan baca bukunya Albert Camus atau Haruki Murakami ketimbang segelas plastik Chatime. Membeli buku, termasuk membacanya, adalah sebuah ritual sakral kala itu, yang sangat saya nikmati dan nanti-nanti.

Era digital yang begitu cepatnya menjerat keseharian, mengubah semuanya. Ritual dan kenikmatan pribadi pun sedikit berubah karenanya. Bagaimanapun, reels, short video dan jenis video-video instan lainnya di berbagai platform media sosial lebih mudah untuk dicerna otak yang sudah berat akibat target-target kerja dan masalah-masalah di kantor maupun perkara domestik dalam rumah tanggga.

Platform digital selalu menawarkan jutaan hal baru setiap saat. Dari jutaan pengguna yang tak habis-habis idenya. Real-time. Bebas akses kapan pun di mana pun sebab kuota data yang saya gunakan tak terbatas. Gratis pula, tak perlu bayar seperti halnya buku. Siapa pula yang tahan terhadap godaannya?

Karenanya, kontras dengan zaman kuliah di mana saya semacam snob sastra yang tergila-gila dengan buku padahal aslinya saya anak teknik, di kala sudah bisa cari duit sendiri kini, saya malah jadi jarang membeli buku. Apalagi membaca buku. 10-belasan buku terakhir yang saya beli, sepertinya tidak ada yang saya baca sampai tuntas. Jadinya makin malas beli, mending buat beli beras.

Apakah karena tidak ada waktu? Tidak juga, emang saya sesibuk apa, bukan siapa-siapa juga. Seharusnya jika disempat-sempatkan, pasti sempat.

Penyebabnya barangkali karena saya semakin terjebak dalam distraksi konten-konten digital yang begitu mudah dicerna, begitu menarik dan cair dinamikanya untuk bikin siapa pun terlena, tiada batas waktu. Hiburan kini ada semua dalam genggaman sedari kita bangun tidur sampai malam tak bisa tidur hingga ketiduran, tak perlu repot-repot membaca buku. Yang kedua, mungkin karena hasrat untuk jadi penulis fiksi sudah tak seambisius dulu. Lagi pula sekarang semakin sedikit media massa yang menerima kiriman cerpen untuk dipublikasikan tiap pekannya. Intinya sekarang: orang-orang, tua-muda, jauh lebih kepengen followers-nya banyak dan sering masuk fyp kemudian di-endorse banyak brand, ketimbang jadi penulis fiksi yang royaltinya saja baru dibayarkan 6 bulan ke depan, itu pun kalau bukunya laku, dan yang namanya royalti penulis, persentasenya kecil sekali.

Saya pun keluar toko buku tanpa membeli buku. Saya menenteng sekotak pensil warna 12 pilihan warna. Lumayan berguna dipakai untuk mewarnai di buku mewarnai bersama anak; dia lagi senang-senangnya mewarnai. Prioritas berubah. Ambisi pribadi berubah. Hidup pun terus berubah. Saya harap kasih sayang keluarga kami kadarnya tetap, takkan pernah berubah.[]