Beberapa pekan lalu, saya diingatkan kembali oleh postingan Koh Edward Suhadi di X yang mana ia mengelaborasi kutipan Nelson Mandela berikut ini:

"May your choices reflect your hopes, not your fears." Semoga keputusan-keputusanmu menunjukkan harapanmu, bukan ketakutanmu.

Konteks tulisan Koh Edward memang terkait Pilpres 2024. Namun seketika, saya tertampar, dan malah teringat keputusan-keputusan pribadi di masa lalu.

Dulu, di 2011, saya berani (bahkan sebagian orang bilang bahwa saya nekat, bego, hingga "kurang bersyukur") untuk resign dari pekerjaan di pabrik kertas yang sebenarnya secara penghasilan lumayan bagus bagi usia saya (masih 19 tahun) terlebih mengingat strata pendidikan saya waktu itu yang "hanya" lulusan SMK Teknologi. Resign, dengan tujuan "hanya" untuk mengambil beasiswa kuliah, dan tentunya tidak akan mendapatkan penghasilan bulanan lagi sebagaimana bekerja di pabrik.

Keputusan yang menurut orang "bodoh" karena sangat jauh dari hasrat mengejar kekayaan material itu diambil hanya karena saya memiliki sebuah "harapan"; bahwa belajar, menimba ilmu yang lebih tinggi, menurut agama yang saya imani pun, akan mengangkat derajatmu beberapa tingkat ketimbang orang yang tidak berilmu.

Dan nyatanya, setelah melalui berbagai proses dan lika-likunya, memang benar: menuntut ilmu membuat saya makin merunduk, makin tidak sok tahu lantaran sadar bahwa masih banyak hal yang saya tidak ketahui dan mustahil semua hal saya kuasai, dan mungkin inilah janji Allah bahwa ilmu akan mengangkat derajatmu beberapa tingkat itu, maksudnya adalah, kita makin sadar bahwa kita bukan apa-apa di hadapan-Nya, sehingga kita "diangkat beberapa tingkat" (sebagaimana kita kerap mengibaratkan bahwa Tuhan ada "Di Atas") agar semakin dekat dengan-Nya melalui berbagai jalan yang kita imani dan percayai.

Singkatnya, saya makin sadar bahwa bekerja di bidang apa pun adalah mulia selama itu halal dan bermanfaat baik untuk orang lain, terlebih untuk orang banyak.

Dan itu lahir lantaran saya mengambil keputusan yang beralasan pada: harapan. Bukan ketakutan.

Begitu pun dengan keputusan saya di pertengahan 2020, era ketika orang-orang lagi di-PHK, saya malah mengundurkan diri secara sukarela dari perusahaan yang cukup nyaman dari berbagai faktor, itu pun karena saya mengambil keputusan secara sadar lantaran saya merasa inilah momen yang tepat sebab lebih baik "ikut berdarah-darah" bersama orang lain sehingga penderitaan saat transisi bakal tersamar alias gak bakal terlalu kelihatan, dan penderitaannya akan sangat mencolok jika saya lakukan di masa normal seperti before-covid atau after-covid seperti saat ini, serta saya pun menanamkan harapan padanya.

Harapan mendapatkan spesialisasi alias kompetensi yang takkan mungkin saya lakukan jika saya masih bertahan bekerja di bidang & sektor perusahaan lama.

Harapan bisa bekerja sampai tua tanpa harus takut menjelang pensiun, karena jenis pekerjaan yang lebih fleksibel, tidak perlu kemampuan fisik yang kuat seperti bekerja di lapangan yang ada batas usia primanya, bisa dikerjakan sampai tua, bisa jadi pengajar, lantaran adaptif terhadap perkembangan zaman.

Dan tentunya harapan hidup lebih damai dan sejahtera dengan benefit yang lebih baik dari segi self-actualization, fulfillment, dan yang paling penting dari segi finansial. Sehingga keluarga yang saya bangun pun diharapkan akan hidup lebih baik ketimbang kehidupan saya di masa lalu.

Perbedaan antara Harapan dan Ketakutan

Jika kamu masih bingung membedakan mana di antara keputusan yang bersandar pada harapan ataukah ketakutan, begini misalnya.

Mungkin kamu sangat familiar dengan nasihat-nasihat dari pihak eksternal sebagai berikut:

"Ah, jangan ambil jurusan Seni, gak ada masa depannya! Mending ambil Teknik biar gak susah kerja." ➡️ kita bold di bagian "gak ada masa depannya" dan bagian "biar gak susah kerja" ini adalah pernyataan yang menyiratkan ketakutan alias fear.

"Jangan ambil jurusan Komputer! Tar lu nolep (no life, red), gak pernah mandi, jarang solat, anak wibu, dan salah-salah lo jadi hacker Rusia." ➡️ kita bold bagian "Tar lu nolep (no life, red), gak pernah mandi, jarang solat, anak wibu, dan salah-salah lo jadi hacker Rusia." ini adalah pernyataan yang menyiratkan ketakutan alias fear.

Atau,

"Lo yakin nikah sama dia? Dia kan suku anu, gak cocok sama suku kita! Menurut mitos juga kalo suku anu sama suku kita nikah, biasanya gak bakal langgeng, seringnya putus di jalan." ➡️ kita bold bagian "biasanya gak bakal langgeng, seringnya putus di jalan." ini adalah pernyataan yang menyiratkan ketakutan alias fear.

Alih-alih kalimat penuh ketakutan di atas, kalimat-kalimat berikut ini, meskipun masih tergolong pragmatis, jauh lebih baik:

"Udah lo daftar CPNS aja. Jadi PNS itu walaupun hidupnya gak bakal kaya raya, setidaknya hidup lo stabil, terjamin sampai pensiun, bisa ngutang ke bank pula gadein SK." ➡️ kalimat ini menyiratkan harapan bahwa seseorang bisa hidup terjamin sampai mati jika mengambil karier sebagai PNS.

"Yono, passion keluarga kita tuh jualan bakso, udah turun temurun dari kakek-buyut kita. Kamu gak cocok jadi musisi, nyanyi lagu Balonku aja fals. Jadi, tar kamu lulus SMA kamu terusin usaha Bapak ya, agar usaha bakso keluarga kita tetap langgeng sampai anak-cucumu." ➡️ kalimat ini menyiratkan harapan bahwa seseorang punya passion turun-temurun, sehingga pasti akan hidup lebih baik jika seseorang melanjutkan passion keluarganya dengan cara melanjutkan usaha bakso keluarganya.

"Aku pengen nikahin kamu. Walaupun kita beda, kamu City aku Emyu, aku yakin kalo aku sama kamu, kita akan sampe ke tujuan yang sama: sama-sama Manchester till Jannah." ➡️ ini udah cukup jelas kali ya, gak perlu dijelasin~

Dah ah, giung tar.

Cukup sekian postingan kali ini. Semoga pengambilan keputusanmu dimudahkan untuk memutuskan berdasarkan harapan, bukan ketakutan.[]