Saya lahir di tanah Sunda.

Dan saya merasa, spirit gastronomi urang Sunda kerap berasal bukan dari harapan, bukan pula dari kebanggaan, melainkan sebuah ketaksengajaan. Alias insiden yang jika direnungi sekarang, mungkin terdengar menyedihkan.

Batagor dari baso tahu (siomay, red) sisa yang tidak laku, lantas digoreng dan dibumbui kacang.

Ulen tumis dari sisa hidangan aneka tumis lebaran.

Seblak dari kerupuk sisa yang kadung melempem.

Baso aci adalah "bakso penghematan" karena daging itu bagi urang sunda tergolong mewah, alias mahal harganya.

Tidak ada makanan seadiluhung sushi, tom yam, bahkan masakan minang dan manado yang sangat aristokrat.

Orang Jawa Timuran jualan makanan bukanya "tenda pecel lele", "bebek goreng", "rawon setan", giliran urang Sunda yang buka warung makan namanya "warung nasi", seolah-olah nasi adalah menu utama yang fardu ain dan egaliter untuk semua strata sosial dan ekonomi, silakan mampir dan makan sepuasnya bersama sambal dadak dan lalapan mentah; adapun lauknya (yang diangetin mulu itu) hanyalah figuran yang hukumnya sunnah.

Mungkin urang Sunda secara genetik terlalu terlahir ikhlas (lebih nrimo daripada nrimonya wong Jowo) sampai-sampai makanan pun harus disiasati terlebih dahulu agar bisa dimakan. kalo istilah modern nan pragmatis zaman sekarang: setiap kesulitan pasti ada solusinya.

"Geus kadung mah kajeun weh lah, kumaha deui.. sanguan meh wareg" adalah "obat sehat mental sehat jiwa" urang Sunda yang paling mujarab untuk hadapi kehidupan sehari-hari yang takkan pernah mudah.[]

Note: Sebelumnya sudah diunggah di akun Instagram @keluarrumahproject; diunggah ulang di KRP Blog (Keluar Rumah Project Blog) dengan beberapa penyesuaian agar enak dibaca.