Di tengah malam yang tenang, saya terbangun dari tidur nanggung dan melihat jam digital menunjukkan angka satu pagi. Saat itu, usia saya beralih dari 32 ke 33. Rasanya, semua kesederhanaan masa kecil dan kepolosan remaja semakin memudar. Sekarang, saya berdiri di persimpangan yang baru—33. Angka ini mungkin terlihat sederhana dan biasa saja, tapi terasa seperti sebuah pesan kecil yang tersembunyi di antara halaman-halaman buku tua, dan tentu usia yang semakin tua.

Andai artikel ini ditulis Haruki Murakami, usia 33 ini mungkin tampak seperti perjalanan ke tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Sebuah tempat di mana waktu terasa melambat dan setiap detail tampak lebih tajam. Saya seolah-olah tengah mengungkap sebuah rahasia lama, yang selama ini tersimpan dalam labirin pikiran saya, seperti menemukan kafe yang nyaris tak terjamah di pinggiran Tokyo di musim dingin, sambil menyeduh kopi dari biji yang baru digiling.

Dan jika Hemingway yang menulis artikel ini, mungkin ia mendeskripsikan usia ini sebagai sebuah pertempuran yang harus saya hadapi dengan keberanian dan keteguhan. Saya telah melalui berbagai musim hidup—angin kencang, badai, dan juga hari-hari tenang di pantai. Sekarang, di usia tiga puluh tiga, saya berada pada titik di mana setiap keputusan harus diambil dengan penuh pertimbangan. Seperti dalam cerpen-cerpen Hemingway, saya mengerti bahwa kehidupan bukanlah tentang hasil akhir, tetapi tentang cara saya berjuang untuk sampai ke sana, dengan penuh keteguhan dan kehormatan.

Di sisi lain, andai Albert Camus yang mengetik artikel ini, ia mungkin akan melihat usia tiga puluh tiga sebagai sebuah refleksi dari absurditas hidup. Dalam pandangan Camus, usia ini mungkin terasa seperti sebuah momen di mana saya menghadapi realitas hidup dengan segala keterasingannya. Saya mungkin akhir-akhir ini kerap merasa terombang-ambing di antara pencarian makna dan kenyataan bahwa hidup sering kali tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Usia ini adalah waktu yang tepat untuk berhenti mempertanyakan absurditas eksistensi dan berhenti mencari makna dalam ketidakpastian yang ada; seperti Sisyphus yang terus-menerus mendorong batu ke puncak bukit.

Narasi yang kompleks dan mendalam selama 33 tahun silam, cukup membuat saya memandang ke depan dengan penuh harapan, dan menghadapi absurditas hidup dengan keberanian dan kesadaran; konon kebahagiaan hanya milik orang yang berani. Kini saya seolah berenang dalam formula ketenangan dan kesadaran, pertarungan dan refleksi, dalam akhir pencarian makna yang takkan pernah benar-benar selesai.

Pelan-pelan saya mulai mengerti, tidak ada keharusan untuk jadi yang terbaik atau yang tercepat. Yang penting adalah tetap melangkah, terus belajar, dan terus mencoba. Kadang memang terasa berat, seperti sedang mendaki tanjakan yang curam. Tapi begitu adanya, kita tetap harus mengayuh. Hidup adalah sebuah proses tiada henti. Tidak ada yang benar-benar “sampai” atau “selesai.” Selalu ada yang bisa kita pelajari, selalu ada ruang untuk tumbuh. Einstein bilang, kunci keseimbangan adalah terus bergerak. Menjadi yang paling penting bukanlah segalanya, karena setiap orang pada dasarnya merasa dirinyalah yang paling penting.

Saya merayakannya dengan segala kompleksitas dan keindahannya. Ini adalah momen untuk menemukan keseimbangan antara permenungan yang tenang, perjuangan yang sarat makna, dan penerimaan terhadap absurditas hidup di setiap langkah perjalanan yang saya jalani.[]


Prompt Writer: Cepy Hidayaturrahman

Compiled by: ChatGPT, 24/08/2024

Crafted with Passion (+kopi pait oplet) by: Cepy Hidayaturrahman