14 Hari Tanpa Gorengan: Ternyata Mood Itu Tersedia Secara Gratis dalam Tubuh Kita
4 Mei 2025 — Tepat hari ke-14 saya berhenti makan gorengan.
Pada awalnya, saya berhenti karena iseng.
Saya penasaran, apakah benar makanan sesimpel—sekaligus sesentimental—gorengan bisa mengubah sesuatu dalam hidup saya?
Buat saya, gorengan bukan sebatas sensasi kriuk nan gurih. Sejak kecil, setiap pagi dan malam, sepiring gorengan selalu tersaji hangat di meja ruang keluarga.
Bapak yang membelikan.
Jadi wajar kalau gorengan bagai sahabat karib yang setia hadirkan suasana hangat dalam keluarga kami.
Jawaban dari pertanyaan tadi; apakah gorengan bisa mengubah sesuatu dalam hidup saya?
Iya, bisa.
Selama bertahun-tahun, saya makan gorengan hampir setiap pagi, setiap malam.
Bakwan, tahu isi, cireng, comro—mereka adalah teman setia sepulang kerja.
Saya pikir itu self-reward. Karena setelah, yang saya rasakan adalah: ketenangan dan kelegaan.
Padahal, tanpa saya sadari, itu adalah ketenangan yang semu; berupa racun dan candu yang harus saya bayar mahal keesokan harinya:
bangun tidur dengan mood buruk, badan berat, dan hari yang dimulai dengan rasa sebal dan kesal, entah ke siapa; negative vibes, entah kenapa.
"Tubuh kita ternyata pinter. Kita aja yang suka pura-pura bego."
Berhenti makan gorengan selama empat belas hari, perlahan mengubah semua itu.
Badan terasa lebih ringan.
Mood lebih stabil secara otomatis.
Pagi-pagi saya tidak lagi ingin membanting alarm.
Siang hari di kantor, saya tidak lagi ingin melarikan diri dari setumpuk tanggung jawab dalam pekerjaan, entah juga mau lari ke mana, yang penting lari aja, demikian batin saya selalu berbisik saban hari. Dan berlanjut petangnya sepulang kerja.
Kalo dipikir-pikir, buat saya, gorengan ini udah jadi candu kayak rokok.
Atau bahkan kayak narkoba, tapi dalam bentuk yang lebih socially accepted.
Candunya bukan cuma di lidah, tapi udah sampai tahap merasuki psikis.
Ada rasa "butuh" bahkan "harus" yang sebenarnya ilusi, yang tiap malam minta dipenuhi, supaya saya bisa merasa sedikit lebih baik... untuk sementara. Demikian ilusi yang selalu memenuhi kepala saya setiap harinya.
Ternyata, apa yang saya pikir menyenangkan, justru malah memperburuk hidup saya.
Badan terasa makin berat, napas makin pendek, jerawat sering nangkring di wajah, dan penampilan pun pelan-pelan kehilangan bentuknya.
Saya jadi lebih gampang sakit. Apalagi dengan riwayat polip di hidung, tiap kali flu datang, penciuman bisa hilang lagi—dan butuh waktu berbulan-bulan buat balik seperti semula.
Rasanya seperti dihukum pelan-pelan oleh tubuh saya sendiri... karena terlalu sering saya abaikan.
Dan apa yang saya kira tidak perlu bahkan mustahil untuk ditinggalkan—satu gorengan, dua gorengan, 10 pcs gorengan setiap hari—adalah awal dari lingkaran setan yang tidak pernah saya pertanyakan dan betah melilit hidup saya dalam zona nyaman yang semu.
Kita kerap teperdaya untuk mencari solusi besar untuk suatu permasalahan.
Padahal, kadang jawabannya sesederhana:
Berhenti makan gorengan.
Pelajaran yang Saya Dapat
Tubuh tidak bisa dibohongi.Dia tahu lebih dulu sebelum pikiran kita sadar. Pekalah terhadap gejala tubuh kita sendiri.
Bukan dengan liburan mahal atau gadget baru, tapi dengan menjaga apa yang masuk ke dalam tubuh kita.
Dan sebaliknya:
Apa yang terasa tidak penting sekarang, bisa menyelamatkan hari-hari kita ke depan.
0 Komentar
Rayakan spirit demokrasi, mari berdiskusi!