Bitterness is not real strength. Pessimism is not true intelligence.
Statement dari @gitasees itu saya temukan secara tidak sengaja di sebuah postingan carousel, lewat FYP IG Reels. Tapi sebagaimana banyak kebenaran atau hidayah dalam hidup, ia datang di waktu yang tepat, di situasi dan kondisi saya saat ini.
Sejak usia 25-an, tepatnya setelah mengalami fase hidup yang oleh society disebut sebagai “quarter life crisis”, saya pernah ada di titik percaya bahwa menjadi pribadi yang bitter, getir, sinis, bahkan sarkastik terhadap kehidupan adalah bentuk kedewasaan. Bahkan segelintir orang, ada yang bilang bahwa bitter dan skeptis itu adalah sesuatu yang keren. Aneh memang, namun demikianlah.
Bahwa mereka yang sudah “melihat banyak” dan “mengalami banyak”, ujung-ujungnya, akan secara otomatis jadi pribadi yang skeptis. Bahwa berhenti berharap, berhenti bermimpi, bahkan ekstremnya: tidak lagi mau berdoa, adalah bentuk dari perlindungan diri.
Sebab menurut orang-orang semacam itu, termasuk saya di masa lalu, semua keinginan, harapan dan impian, pada akhirnya hanya akan berujung kekecewaan.
Namun ternyata, setelah saya amati dan sadari pelan-pelan, selama ini, saya bukan sedang melindungi diri. Justru, saya sedang “mengunci diri” dalam ruang kepahitan yang takkan pernah membawa saya ke mana-mana, apalagi ke tujuan yang lebih baik sebagaimana manusia seharusnya berprogres.
Bitterness Sebagai Budaya Pop
Saya yakin, kultur yang mulai mengakar di kalangan seusia saya ini juga dipengaruhi oleh budaya populer yang marak sejak lima sampai tujuh tahun terakhir. Khususnya di kalangan late millennial dan early Gen Z.
Dark jokes menjamur, terutama di media sosial, melalui berbagai para pesohor digital yang seolah-olah mudah sekali meraih atensi anak muda hingga dewasa muda berkat humor-humor gelapnya. Awalnya memang terasa sangat relevan, karena lucu dan fresh (kala itu ini adalah fenomena baru sebab selama ini kita hanya mengenal humor slapstick atau paling banter juga humor self deprecating dan observasional), karena terasa “gue banget” alias relatable.
Namun di balik itu, secara tak sadar kita mulai membentuk satu narasi kolektif:
- Bahwa menjadi pribadi yang bitter, gemar menularkan skeptisisme dan pesimisme itu keren.
- Bahwa itu adalah simbol dari seseorang yang sudah “si paling paham makna hidup”.
Padahal, coba kita telaah kembali. Bagi para komedian, jokes itu dibuat dengan tujuan untuk meraup tawa—dan cuan tentu saja. Mereka tahu dan sangat paham cara memainkan absurditas luka kemudian mengolahnya menjadi media hiburan. Sudah, itu saja tugas dan tujuan mereka: menghibur audiens. Tak seadiluhung “untuk mengubah dunia” atau “memboikot pemerintah”.
Sedangkan kita, justru malah secara mentah-mentah menyerap vibe-nya begitu totalitas tanpa filtering, tanpa sempat selesai mengurai akar luka di baliknya. Lebih parahnya lagi, kita menganggap itu: keren, cerdas, realistis, bahkan panutan.
Ketika Saya Mulai Bitter
Sejak 2011, meninggalkan pekerjaan tetap saya sebagai teknisi di pabrik kertas, saya pernah menjalani kuliah dari program beasiswa CSR sebuah perusahaan semen nasional. Tidak ada ijazah. Hanya berhadiah selembar sertifikat, yang hanya diakui oleh institusi tersebut, dan tidak semua lulusan diserap oleh perusahaan. Dan meskipun saya bisa bersikap “yaudahlah”—di dalam hati pada akhirnya, saat itu, saya merasa kecewa dan gagal, dan merasa sebagai “korban”.
Lanjut ke dunia kerja pasca kuliah, saya terpaksa masuk ke bidang yang tidak relevan dengan jurusan kuliah saya. Ketika pada akhirnya, setahun kemudian direkrut masuk ke perusahaan semen yang menguliahkan saya itu pun, bidang kerjanya tidak relevan dengan jurusan kuliah saya dan passion saya, dan saya jujur clueless bekerja di bidang itu. Dan ketika saya memutuskan resign, saya sempat masuk ke perusahaan yang secara budaya dan kepemimpinan sangat destruktif. Toxic, penuh manipulasi, dan tanpa arah.
Di titik itulah, selama lima tahun tersebut, saya semakin bitter dan skeptis tentang hidup ini:
“Dunia kerja emang gini kali ya.”
“Yah, di negara ini emang gak bisa idealis kalo hidup mau survive.”
Tanpa sadar, saya mulai menjadi pribadi yang toxic untuk orang sekitar saya, termasuk istri saya, dan mungkin keluarga inti dan keluarga besar saya pun kecipratan. Dan ironisnya, saya merasa, bitterness adalah bentuk kedewasaan.
Mengapa Bitterness Takkan Pernah Membawa Kita ke Mana-mana?
Refleksi pribadi beberapa tahun ke belakang, terutama tiga tahun terakhir ketika menghadapi badai masalah cukup hebat dari sudut pandang saya & keluarga inti, membuat saya menyadari bahwa bitterness tidaklah memperkuat saya sebagai manusia yang beradab—justru sebaliknya. Bitterness, lamat-lamat melemahkan diri ini, baik secara fisik maupun mental, perlahan.
Bitterness, berulang kali, membuat saya:
- Menolak harapan baru karena takut kecewa.
- Melihat segala hal dari sisi buruknya lebih dulu.
- Sulit merayakan keberhasilan kecil karena selalu merasa “masih kurang”.
- Membuat relasi personal maupun profesional terasa kaku, penuh curiga dan skeptisisme.
- Menyabotase kesempatan karena sudah terlanjur sinis dengan kelanjutan prosesnya.
Terbukti, bitterness tidak membawa saya ke mana-mana karena ia tidak punya arah. Ia hanya berkutat di masa lalu, mengulang-ulang dan mengaduk-aduk luka-luka lama, dan menumpulkan kemampuan saya untuk percaya.
Kurang lebih seperti AI Generatif yang senantiasa mengulang-ulang dan mengolah insight berdasarkan bahan baku yang ada saja berbekal prompt kita; tidak bisa berpikir secara mandiri, tidak sepintar itu, dan tidak bisa menciptakan sesuatu dari kebijaksanaan sejati.
Demikian juga dengan orang yang bitter, yang takkan pernah berprogres maju ke masa depan yang lebih baik, jika ia tak menyadarinya, jika terus terjebak dalam pola pikir yang sama, atau terpaksa menyadarinya seperti saya yang beberapa kali terbentur tembok besar dan badai hebat.
Dan yang paling menyedihkan adalah, dari luar, orang seperti itu tampak terlihat logis. Terlihat smart. Terkesan lucu berkat humor-humor gelapnya. Padahal sebetulnya, itu hanya luka yang belum diberi ruang untuk sembuh.
Saya Semakin Sadar, dan Tidak Ingin Terus Terjebak dalam Pusaran Kepahitan
Proses penyadaran ini tidak instan, tentu. Butuh waktu, dan terutama, butuh cermin.
Saya mulai sadar bahwa saya orangnya bitter, justru ketika bertemu orang-orang yang jauh lebih bitter dari saya. Salah satunya, setelah menikah, dan menemui sosok mertua yang level bitter-nya jauh lebih parah daripada saya, terlebih mereka terlahir sebagai suku Jawa yang memang secara natural berkomunikasi secara tersirat dan rentan menyelusupkan satire dan sarkasme dalam setiap obrolan.
Dan saya juga menemui beberapa rekan kerja dalam lima tahun belakangan yang segala rupa dia kerap komentari negatif dengan bumbu sinisme dan dark jokes. Segala topik dibawa ke arah negatif. Semua peluang dibilang bullshit. Semua orang dianggap punya niat terselubung. Saya mendengarkan, awalnya dengan empati. Tapi lama-lama, kok capek dan merasa energi saya terserap habis oleh orang-orang semacam itu, ya?
Dan apakah saya merasa satu frekuensi dengan mereka?
Ironisnya, justru saya malah jadi benci orang bitter. Setelah itu, bitter jadi tidak keren lagi di mata saya. Padahal, kalau dipikir-pikir, selama ini juga saya bitter! Ya, lucunya, saya jadi benci diri sendiri juga, pada akhirnya. Lalu saya mulai berpikir:
“Apa selama ini orang sekitar juga merasa gak nyaman seperti ini saat ngobrol sama gue?”
Itu adalah momen turning point.
Sejak itu, saya tidak ingin hidup dalam lingkaran pahit seperti itu.
Saya tidak ingin menjadi pribadi yang selalu meragukan dan penuh curiga, selalu takut berharap, selalu menahan diri untuk merasa bahagia hanya karena takut kecewa.
Saya ingin menjadi pribadi yang bisa berharap lagi. Yang bisa merasa bahagia tanpa takut kecewa.
Segala Hal dalam Hidup ini Diciptakan untuk Seimbang, Begitu Juga dengan Pengelolaan Emosi dan Ekspektasi
Beberapa tahun belakangan, sejak mulai sadar akan hal-hal tersebut, saya perlahan mulai mengubah banyak hal kecil dalam hidup:
- Memberi ruang untuk kecewa, tapi tidak tinggal berlama-lama di dalamnya.
- Mengurangi kebutuhan untuk selalu benar, dan lebih sering memilih untuk damai.
- Belajar membedakan antara kritik yang membangun dan omongan yang hanya numpang nyakitin.
- Mengganti kata “gagal” menjadi “belum waktunya dikasih sama Allah SWT” — atau bahkan mungkin saya justru sedang diselamatkan dari pusaran takdir yang bisa saja lebih parah akibatnya.
- Belajar berharap dengan sadar, bukan dengan naif.
- Menyadari bahwa bukan semesta yang salah, tapi ekspektasi kita yang ketinggian.
- Menerima bahwa tidak semua luka dan masalah hidup di dunia ini harus masuk akal; banyak sekali hal di luar nalar yang cukup kita amini saja.
- Menikmati hal-hal kecil tanpa perlu alasan besar.
- Mengganti lingkaran sosial termasuk role model yang terlalu sinis dengan yang lebih suportif.
- Tidak semua hal harus ditanggapi, apalagi dengan sinisme dan sarkasme.
- Mengamini bahwa tak semua orang harus suka kita, dan itu bukan akhir dari dunia.
- Belajar bilang “cukup” tanpa merasa bersalah.
Ya, saya masih terus belajar. Masih sering ragu, dan sesekali kembali ke mode bitter—kalau situasi dan kondisinya memang mengharuskan saya seperti itu. Tapi setidaknya, saya tidak lagi membanggakan perilaku bitterness itu seolah-olah sebagai bagian paling keren dan paling cerdas dari diri saya.
Sayangilah Dirimu
Kita hidup di era di mana sinisme lebih cepat viral daripada ketulusan.
Di mana pesimisme lebih sering dikutip daripada harapan.
Mungkin memang situasi dan kondisi lingkungan sekitar kita, termasuk iklim politik, ekonomi, dan pemerintahan negara kita tercinta pun memang turut mendorong perilaku kita untuk semakin bitter dan sinis terhadap harapan negara ini, termasuk terhadap kehidupan pribadi kita.
Tapi sekarang, saya percaya: tetap bisa berharap di tengah ketidakpastian adalah bentuk keberanian yang sesungguhnya.
Bitterness tidak membuat kita terlihat keren.
Justru keberanian untuk tetap percaya pada harapan baik—meski pernah kecewa dengan realitas kehidupan yang memang berjalan sesuai sunatullah—itulah kekuatan manusia sejati.
Jika kamu juga pernah merasa hal yang sama, kamu tidak sendiri.
Dan kamu berhak untuk sembuh.
Sayangilah orang-orang sekitarmu yang menyayangimu, atau setidaknya, sayangilah dirimu sendiri. (*)
-
2 Komentar
Hikmah yang manis dari berbagai kepahitan
BalasHapussungguh bagus permainan katanya🙏
HapusRayakan spirit demokrasi, mari berdiskusi!