Saya bersyukur belum pernah sama sekali bercita-cita menjadi pengusaha, entrepreneur, wirausahawan muda tulang punggung (sesungguhnya iga panggang jauh lebih nikmat, demi Tuhan!) ekonomi bangsa, atau apalah istilahnya. Seingat saya, pada 2009/2010an hingga sekarang, pada berbagai media santer sekali ajakan ihwal kejarlah passion atau renjana Anda; hasrat cinta yang menggebu-gebu untuk tak sabar dilakukan setiap saat tanpa pandang waktu bagai buang air besar. Yang sayangnya dimaknai terlalu dini, ah sebut dengan gamblang saja, terlalu dangkal oleh pemirsa Indonesia; negara yang selalu berkembang, dan tak kunjung berbuah ini.

Mayoritas masyarakat tafsirkan kejarlah renjana Anda dengan keluarlah dari pekerjaan dan jadilah pengusaha muda yang sukses! Sebulan berlalu, seseorang berbinar-binar dengan kebebasan tanpa ikatan dari sejuta aturan korporasi. Tiap pagi dapat ongkang-ongkang kaki di depan televisi, menyesap kopi, ditemani anak-istri. Tiga bulan mulai ada sedikit keuntungan dari usaha kecil-kecilannya. Setengah tahun mulai timbul kecurigaan dengan perkembangan usaha yang stagnan. Setahun berlalu ia bingung sendiri dengan kerugian yang datang tiba-tiba. Hingga uang untuk sekadar makan sehari-hari pun tidak ada. Ia baru sadar, usaha untuk menjadi pengusaha berlipat-lipat lebih keras daripada kerja keras sebagai pekerja delapan jam saban hari. Di balik rugi, cemas ia menanti reaksi anak-istri dan keluarga istri.

Saya adalah orang yang percaya, tidak semua orang berbakat untuk menjadi pengusaha. Memang bakat tidak terlahir begitu saja bersama DNA layaknya warna kulit dan tingkat kesipitan mata. Namun saya percaya, bakat terkonstruksi dari watak dan sifat setiap individu, kebiasaan yang dibangun oleh keluarga, dan budaya lingkungan yang menaungi seseorang sejak ia dilahirkan. Bila terbiasa melihat ayahnya berangkat pagi dan pulang pagi demi pasien-pasiennya, maka secara alamiah pikiran dan angannya mulai terarah ke jalan yang sama, dan lagi pula, cuma yang orangtuanya dokter jugalah yang tahu dan bakal rela menggelontorkan dana pendidikan sebanyak itu demi masa depan. Begitu pula bagi yang punya orangtua berprofesi sebagai pedagang, pengusaha, eh, sama sajakah dua profesi ini?

Bukan, saya bukannya masih berpikiran kolot seperti yang biasa pakar-pakar itu mentah lontarkan kepada pegawai negeri sipil dan budak korporasi. Saya realistis saja karena tidak ingin membebani negara berkembang ini dengan jutaan anak muda yang sebetulnya sudah tidak terlalu muda itu berstatus pengangguran terdidik. Saya khawatir generasi saya berpikiran terlampau maju padahal elemen-elemen di sekitarnya sama sekali belum mendukungnya untuk menjadi apa yang ia ingini, sehingga pada akhirnya mereka hidup sebatas di relung alam pikirannya sendiri, bahkan membuat surga dan neraka sendiri-sendiri.

Baiknya, ikuti aturan main di lingkungan masing-masing, dan peramlah cita-cita kita untuk dilansir kelak andai keadaan telah dirasa tepat, dan ini yang penting: pastikan dapur masing-masing sudah terjaga kepulannya setiap hari. Sampai kapan pun hasrat di perut selalu merasa lebih berperan vital ketimbang angan di benak.

*

Teringat perbincangan dengan ibu saya pada suatu hari. Entah apa pemantik topik obrolan, sehingga menyerempet pada cerita beliau tentang ayahnya atau kakek saya yang sempat berdagang di Jakarta, padahal yang saya kenal, dahulu Kakek berprofesi sebagai pegawai pabrik kertas. Saya pun tergugah untuk menggali lebih dalam masa lalunya. Sebab waktu itu sedang hangat-hangatnya pengusaha muda bermunculan, termasuk generasi sebaya saya.

Namun saya kecewa dan sedih. Sebab Ibu bilang, Kakek gagal berdagang. Memang apa yang dijual oleh Kakek? Beras, katanya. Saya tertawa prihatin. Jauh-jauh ke Jakarta, meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai yang sudah pasti penghasilannya setiap bulan, cuma untuk jualan beras keliling dengan mengendarai sepeda. Tidak laku pula. Andai saya hidup pada masa itu, belum tentu mau senekat Kakek yang padahal saya pikir, dulu tahun 50an belum ada sabda pakar renjana yang mendorong kita agar tergesa keluar kerja. Toh cuma ada ikrar ganyang Malaysia.

Apakah Kakek terus berdagang? Cerita Ibu berlanjut. Ya, kakek saya belum menyerah. Beliau lanjut berdagang di Jakarta. Hanya saja bukan berjualan beras keliling. Melainkan petromaks! Ya, petromaks! Sontak tawa saya lebih meledak saat mendengar barang yang sempat diperjuangkan Kakek dahulu. Jualan lampu petromaks zaman dahulu ibarat jualan cobek pada saat ini. Barangnya terlalu awet dan lama sekali terjadi siklus perputaran uang masuk dan uang keluar, dan bukankah siklus ini yang menjadi napas para pengusaha?

Meskipun memang, dulu masih jarang daerah yang teraliri listrik, petromaks bukanlah barang yang dibeli orang setiap hari. Bahkan beras lebih masuk akal untuk diperdagangkan, saya pikir, ketimbang petromaks. Sebab saya tahu, orang zaman dahulu, tak mudah membeli barang baru meski sudah rusak dan diperbaiki berkali-kali, semisal televisi dan pesawat radio. Mau berharap apa kepada orang anti-konsumsi macam generasi mereka? Mereka generasi penggemar Soekarno, bukan generasi Pokemon Go.

Kakek menyerah dan pulang ke Bandung. Kembali diterima bekerja sebagai pegawai pabrik kertas hingga beliau pensiun. Kembali diterima bekerja di perusahaan yang sama sehabis gagal menjajal usaha, adalah hal yang mustahil terjadi pada masa sekarang; masa di mana lebih mudah mencari pengemis daripada mencari pekerjaan.

Saya pun mengerti bahwa tidak semua kakek harus bernasib seperti Liem Sioe Liong. Namun saya toh tetap terkenang dengan kebaikan dan kewibawaan Kakek. Sosok beliau yang hangat dan teguh adalah inspirasi saya dalam membangun fondasi karakter diri di ambang krisis seperempat abad ini. Meski sejak 2001 saya sudah tak pernah dan tak mungkin dapat menjumpai beliau lagi.

Selain bekerja, bertani, berkebun, dan menggambar kartun, ibu saya bilang, Kakek adalah kiper yang diandalkan kolega-koleganya. Jala-jala gawang tim yang beliau bela dipastikan terbebas dari sentuhan bola dalam setiap pertandingan bila Kakek berdiri di sana. Dan ternyata keahlian sebagai kiper andal, menurun kepada beberapa putra bahkan cucunya yang juga selalu dipercaya menjadi juru selamat dalam emban amanat rekan-rekan satu tim masing-masing.

Alih-alih menjadi kiper, saya tak pernah becus bermain sepakbola. Namun perlahan saya meyakini, mungkin, keluarga kami terlahir sebagai yang dipercaya untuk menjaga amanat di barisan paling belakang. Bukan berperan sebagai pengacak-acak daerah orang lain di barisan terdepan guna mereka, mengkreasi, dan menuntaskan peluang, atau penyisir dan penyusup pertahanan lawan di kiri-kanan medan. Baiklah. Saya ingin dikenal sebagai Peter Schmeichel yang dikenang. Bukan akhir karier Michael Owen (atau Lionel Messi, sesuka Anda jika telah meyakini) yang malang.

*

Baru dua bulan menangani keuangan dan pajak perusahaan-perusahaan skala kecil, penolakan diri sendiri untuk menjadi pengusaha semakin kuat. Melalui data-data yang saya kelola, tergambarkan bahwa seorang pengusaha harus rela mengeluarkan modal tanpa tahu lima tahun kemudian uangnya akan kembali atau malah semakin minus, selain dari prediksi-prediksi konsultan yang itu pun kondisional, kembali tergantung kepada insting sang pengusaha.

Ia mesti ikhlas tatap aset-aset berharga yang susah payah dikoleksi berpuluh tahun, sekejap terseleweng oleh pegawainya. Berkewajiban membayar dan mengurus pajak setiap bulan kepada pemerintah yang entah guna dimanfaatkan jadi apa pula oleh korps republik ini, tanpa mereka mau tahu apakah badan usaha bersangkutan sedang untung atau rugi atau malah menjelang kolaps.

Tanpa mental setangguh titanium dan relasi seluas samudera, saya pikir impian untuk menjadi pengusaha cuma setara dengan impian jadi atlet bulutangkis. Yang kita pandang dengan penuh kagum cuma kesuksesan mereka dalam mencapai titel-titel kejuaraan dunia di layar kaca. Di balik tirai arena, sejauh apa yang kita mafhum perihal perjuangan mereka sejak usia tujuh tahun berpeluh-peluh di lapangan, mengorbankan masa muda penuh warna, masa dewasa berjuta dera, dan masa tua yang belum tentu berbahagia.

Yang seringkali orang lupakan, seorang pengusaha yang hebat biasanya adalah mantan profesional yang hebat pula. Lantaran hasratnya lebih besar dari visi dan misi perusahaan, maka ia memutuskan untuk wujudkan impiannya secara mandiri. Bukan tidak atau kurang baik buah karya mereka dahulu, namun wadah mereka bekerja terlalu mungil sebagai tempat mengusahakan daya, karsa, dan selera mereka. Jadi, sudahkah menjadi pembantu korporasi yang baik? Tak ada salahnya, coba lagi Senin depan...[]