Dalam keseharian, saya sering menemui kegiatan makan diadakan dalam rangka merayakan keberhasilan seseorang mencapai gol demi gol dalam kariernya, keriangan atas bertambahnya usia teman dekat, hingga ritual tambahan ketika membincang urusan pekerjaan. Makan, bukan lagi sekadar menyuap-memamah-menelan sehidang santapan lezat, kemudian tersenyum puas penuh kekenyangan, namun sebagai aktivitas yang pantas untuk dirayakan.

Kenapa, ya, harus makan? Padahal masih banyak kegiatan lain yang tentu lebih berfaedah bagi orang-orang sibuk itu untuk isi dalam waktu mereka yang sempit. Mungkin, olahraga terlalu muluk untuk dihelat bersama-sama karena tidak semua orang punya bentuk tubuh yang cocok dan lingkar minimal kebuncitan perut untuk berolahraga (dan tentu saja tingkat kemalasan masing-masing orang pun berbeda). Makan, terasa lebih komunal karena rata-rata kita makan tiga kali sehari. Jadi kesempatan untuk bersepakat janji di meja makan lebih tinggi peluangnya ketimbang merencanakan pertandingan olahraga di gelanggang yang belum tentu terlaksana setiap pekan dan tak semua orang rutin melakukan.

Termasuk lobi-lobi janji-janji dan perundingan korupsi, semua berawal dari meja makan. Kencan pertama, biasanya diawali oleh ajakan untuk makan di suatu tempat yang menurut keduanya istimewa, seistimewa pertemuan dan kesan pertama yang selalu manis. Ibu dan bapak yang sama-sama sibuk membesarkan perusahaan masing-masing, tiap malam menyempatkan duduk bersama di meja makan, mendengarkan anak-anak (yang dibesarkan pembantu) bercerita tentang betapa menyenangkan suasana di sekolah. Yah, peristiwa ini memang seharusnya, bukan senyatanya. Pada realitasnya sekarang, ibu dan bapak lebih sering makan bersama rekan-rekan kerja dan klien di luar, dan lidah anak-anak terpaksa lebih akrab dengan masakan pembantu yang referensinya apa adanya, begitupun dengan selera tontonan televisi.

Sementara selera ibu dan bapak sudah terbiasakan dengan makanan di luar rumah; menu-menu apa saja yang mudah diketemukan di sekitar tempat mereka bekerja atau mengadakan pertemuan dengan kolega. Semakin deras arus urbanisasi membawa efek lain dalam bentuk keberadaan penjual makanan pada suatu kota tujuan pencari kerja. Sampai-sampai, soto Madura dan Lamongan mewujud kuliner khas setempat yang klop bagi segenap umat, sementara tidak semua orang Bandung suka soto Bandung, bahkan sekadar tahu pun tidak. Hambar, kata orang-orang yang saya kenal, sebagaimana makanan Priangan lain yang begitu-begitu saja, katanya, sama saja dengan sajian sesehari, padahal bagi saya, lebih hambar suatu hubungan yang dipaksakan kemudian didorong dilanjutkan ke jenjang entah itu.

Ngomong-ngomong perihal masakan hambar. Saya percaya, pembentukan selera lidah paling ideal adalah berasal dari olah tangan ibu sejak kita kecil. Memang, belum tentu semua ibu mahir memasak seperti Ibu Sisca Soewitomo atau sekaligus semolek Farah Quinn. Bila boleh jujur, masakan ibu saya pun tergolong hambar. Alih-alih membuka rumah makan dengan nama "Rumah Mamah", sepertinya sulit untuk memenuhi standar 'maknyus' atau 'nendang' atau 'lazies', maupun melampaui 4,5 bintang di situs-situs pengulas makanan. Makanya sejak dulu, saya agak segan untuk membawa teman-teman ke rumah lama-lama, selain karena rumah kami tidak ada halamannya, untuk parkir motor pun susah.

Namun demikian, setidaknya ibu tidak akan setega mamang gorengan untuk turut melumerkan plastik minyak curah ke wajan panas tatkala menggoreng perkedel jagung. Meskipun kurang garam sebab beberapa pelanggannya hipertensi, tidak terlalu gurih karena sudah berhenti pakai vetsin belasan tahun belakangan, dan dimensi yang jauh dari kaidah proporsi, saya merasa aman mencicip lantas membekalnya bersama capcay untuk makan siang di kantor pun, dan yah, aman pula bagi keutuhan gaji yang masih jauh dari batas bawah taraf kelas menengah ini.

Saya pikir anugerah aktivitas makan adalah nikmat yang paling besar dari Yang Kuasa. Sebab apa susahnya bagi Tuhan untuk mengenyangkan jutaan perut manusia tanpa kita harus berepot-repot mengunyah dengan gigi berlubang setelah sebelumnya untuk mencari dan memperolehnya pun susah. Mungkin saya takkan pernah mencicip ajaibnya santan rendang Minang dan kuah tujuh rupa lainnya, hasil dari perjuangan memeras otak dan meredam sakit enam hari dalam seminggu. Atau manisnya sepotong kue pada kencan pertama berlatar gerimis, mustahil dapat saya kenang tanpa karunia indera satu ini. Peristiwa nikmatnya makan sudah setara dengan kemenangan yang mustahil terasa bermakna tanpa adanya pengorbanan, dan sama-sama pantas untuk dirayakan.

Di luar mulai hujan, saat yang tepat untuk makan. Kebetulan Ibu sedang memanggang ketan. Mari makan![]