[Kepada Barasuara]

1

Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau berhenti berlari

Kau selalu tergelisahkan dengan pertanyaan: apakah kaki lebih cocok digunakan manusia berjalan atau berlari? Sedari kecil kau tak pernah kencang berlari. Badanmu terlalu berat untuk berlari sementara sebayamu terlahir dengan genetik kurus-kurus sehingga nyaman berlari meninggalkanmu terbelakang. Ketertinggalan semakin terkondisikan oleh tidak ada kejuaraan berjalan kaki, kalau ada pun jalan cepat, sama saja adu cepat dan itu pun tidak sebergengsi kompetisi berlari.

Suatu hari kau mencoba pelarian tempatmu dapat berlari lebih kencang dari yang lain tak kuasa. Berlatih sampai raga letih meretih. Berpeluh-peluh dan berdarah-darah sampai terjatuh. Terjatuh lalu bangun lagi. Bangkit berdiri berlandas kaki yang pedih, bagaimanapun kau harus lanjut berlari agar tak mudah tersalip orang lain yang juga sama-sama mengusahakan kolam pelarian masing-masing.

Semakin kencang berlari kau kian merasa sendirian di antara banyak orang yang berlari sedikit lebih lambat atau bahkan jauh lebih lesat darimu, lampaui seyogianya. Padahal kaurasa belum mencapai apa-apa, masih bukan sesiapa, belum telurkan buah yang bagaimana-bagaimana. Gulir waktu tampak gerah dan jijik dengan masa lalu, memaksamu lebih cepat dan tambah lesat berlari menujunya: siklon taifun yang menyesatkan namun silau pukau untuk kauikuti pusarannya.

Dalam progres pelarian tanpa batas, kau berjumpa dengan lawan paling sulit tertaklukkan: dirimu sendiri, sehingga kauputuskan untuk sejenak berhenti, duduk berdua dengannya, berihat sesap kopi sepahit hidup. Kau ternyata lebih mengerikan dari iblis dan butuh iman dan kehati-hatian untuk kerkahkan batumu. Sialnya, kau lupa letak peti perkakas di mana palu ada.

2

Tawamu lepas dan tangis kau redam di dalam mimpi yang kau simpan sendiri

Petik-petik pentatonik mengutik mimpimu dalam tidur panjang pada derita malam panjang. Mimpi datang mengetuk lawang angan, yang telaten kauketik saban malam di halaman-halaman kosong tanpa gunduk-gunduk bunga dan rumpun pegagan. Hanya ada kau dan dia, yang sekarang tiada.

“Dunia bukan suguhan panggung tepat untuk kita dapat duduk manis dan tertawa selepas kita melepas kecam,” kau mengesah padanya, “relakan tawamu untukku, tukar dengan sedikit tangisku ya.”

“Tidak.” Rupanya dia menampik. “Aku malas berbagi tawa. Kau sendiri pelit bagikan bahagia. Aku ingin bahagia. Senantiasa. Ya!”

Kau tak punya pilihan selain mandiri meredam tangis, merendamnya dalam seember mimpi tersia-sia. Penghuni semesta milyaran, tapi tak satu pun rela berbagi tawa. Dan semua hanya ingin melihatmu tertawa dan bahagia. Tangis hanya cocok untuk dibenam mimpi. Mimpi, mungkin, adalah tanah pengurai segala, bukan pengabul doa.

3

Saat kau menerima dirimu dan berdamai dengan itu

Lelah berdoa membuatmu berhenti, menyesap kekosongan yang orang lebih suka menyebutnya kehampaan. Tiada peduli yang asli selain kau sendiri yang mengkreasi. Bukan dari orang lain sekalipun mereka menjual dan kau sebetulnya mampu membeli. Kau kontemplasi apa yang telah kaulakukan selama ini: kebodohan, kecerobohan, kemunafikan. Menerima orang lain, bagimu, jauh lebih mudah dari menerima dirimu sendiri. Hingga selama ini sudah berapa topeng yang kau kenakan berganti-gantian sesehari, kau lupa, entah sudah berapa kali ketahuan, kau jauh dari ingat.

Desah napas rutin bermain dengan udara gratis yang bersirkulasi tanpa butuh regulator. Apa lagi yang kau cari? Kau bersibuk telusuri yang tak ada. Menelisik sesuatu yang lebih asyik. Menerabas batas-batas. Merundung ragu. Yang terakhir adalah kesalahan. Usainya kau sadari, ragu cukup fungsional sebagai gawai lacak lokasi menuju impian fanamu. Sayang, kau lebih andalkan yakin yang rupanya hanya sebatas mungkin. “Tak semua yang kau inginkan akan mudah kau dapatkan.” Dulu kau benci dan anggap ayat ini semacam konspirasi yahudi, namun sekarang kau perlahan mengimani.

Pencarian segenap yang fana dari berjuta menggiringmu sampai pada papan petunjuk jalan yang mengarahkanmu kembali. Padahal kau sudah lelah berlari dan berlari. Jauh jarak yang sudah kau tempuh hanya menyuruhmu untuk menempuh jarak yang sama untuk pulang kembali pada dirimu sendiri.

Dalam perjalanan pulang kau bergulat dengan diri sendiri. Beberapa kali mengusahakan untuk membunuhnya supaya lekas enyah dari marcapada sebab tiada guna. Kalian saling tuding kesalahan, silih todong kelemahan yang kalian sama-sama tahu kalianlah yang sedang kalian saling caci-maki.

Berbulan-bulan perjalanan pulang, menyeretmu yang masih dalam pergumulan pertikaian ke pantai damai. Kalian berdua memang tak begitu mahir berenang, namun setidaknya kesiur damai pantai membelai batu di balik ubun-ubun hingga kalian terjerembab penat dipeluk pasir-pasir kasar. Kalian sama-sama alami kekalahan. Akankah saling mengakui dan tak menuding diri paling hebat?

4

Kau menari dengan waktu tanpa ragu yang membelenggu

Kecakapan waktu perihal mengukir keriput manusia senja, sama baiknya dengan kemampuan ia mengikis angan. Ia menggelinding cepat ketika kau tengah meneguk suka. Ia melambat saat duka sedang khusyuk merisak. Kau dambakan selasar tanpa ruang dan waktu. Sayang keduanya adalah suami istri yang harmonis.

Sesekali ruang pergi saat kau bermimpi. Hanya ada waktu bersamamu dan suatu masa kau diundang menghadiri pesta di kamar bola. Di sana hanya ada waktu, waktu, dan waktu. Ternyata banyak. Kau dapat memilih satu waktu paling cantik: yang kakinya bagus bersungkup stiletto, betisnya kurus, leher sejenjang angsa, bibir sepenuh harapan, mata seteduh pokok angsana.

Seperti ke mana pun, perjalananmu menuju kamar bola ditemani ragu. Kekasihmu? Tidak tahu. Ia bukan sesiapa tapi selalu ada sejak kau jatuh ke semesta. Sesekali ia mendekap sambil mencumbu, namun lebih sering membelenggu. Meski kau risih tapi ia seperti setan yang tiba-tiba ada tanpa kau sempat merapal doa. Sampai tiba di lawang kencana kamar bola, ia menghilang seperti angan. Yang kaujumpai di dalam hanya ada waktu, yang kelak satu paling menawan di antara waktu menari bersamamu.[]