Sudah pekan ketiga saya lari pada Minggu pagi. Padahal sesungguhnya, pada satu-satunya hari libur itu saya hanya ingin bangun siang dan membaca buku seharian di kamar sampai larut malam dan ketiduran untuk kemudian terjaga sambut Senin yang selalu dibenci. Tapi mau bagaimana lagi, saya ingin sehat.

Tekanan darah yang tinggi cukup menyiksa saya akhir-akhir ini, sebelum memutuskan kembali berlari. Melalui pusing di kepala, dan pencernaan yang kurang nyaman. Hari-hari pun saya lalui dengan serapah. Terus membenci kondisi yang sudah telanjur begini dan merisak nasib diri sendiri. 

Sampai muncul cetusan untuk keluar rumah tanpa motor, atau bahkan satu hari tanpa mengendarai motor sama sekali. Cukup keluar dengan celana pendek, kaus longgar (supaya tidak terlalu kelihatan bahenol), sepatu olahraga, dan uang secukupnya untuk ongkos angkot. Pukul setengah enam kurang sepuluh saya pergi untuk berlari ke tempat yang banyak orang-orang berlari. Lumayan, pulangnya ramai ibu-ibu lagi senam sambil teriak-teriak menggugah syahwat di parkiran supermarket, membeoi instruktur senam yang mungkin lebih cocok jadi biduan dangdut. Cukup menyegarkan letih, tapi, ah, sudah tua-tua sih.

Percobaan minggu pertama hasilnya badan sakit semua: perut kalikiben (pasti gak tahu artinya), paha merah-merah, dan kaki susah dipakai untuk langsung bangkit dari tidur atau duduk tanpa tangan ikut membantu menahan ke lantai atau kursi. Padahal minggu pertama, saya lebih sering berjalan daripada berlari. Minggu kedua hanya kaki kanan yang sakit, dan keesokan harinya rasa pegal itu langsung lenyap. Akhirnya Minggu pagi tadi, alhamdulillah tidak ada anggota badan yang manja. Padahal jarak berlari sudah lebih jauh dari dua Minggu sebelumnya dan saya berlari tanpa berhenti. Mungkin tubuh sudah adaptasi. Atau mungkin saya lebih lama berpura-pura melakukan pendinginan di depan parkiran supermarket. Bahagia itu gitu aja kali ya.

Jujur, saya ingin melanjutkan rutinitas Minggu pagi ini secara istiqamah. Bukan, bukan lantaran kebelet kurus. Itu sih... susah. Saya cuma ingin sehat. Yang saya rasakan saat sedang berlari, otak seolah melepaskan beban-beban pekerjaan yang tak pernah terselesaikan, dari harapan yang tak kunjung sampai. Dari masa lalu yang sebenarnya berat untuk dilepaskan tapi berat pula untuk dikenang-kenang. Pain dan fear itu mungkin memang semu dan cuma iseng nangkring di otak. Cara melepaskan diri dari belenggu itu, ternyata cukup dengan menggerakkan seluruh badan lebih dari 45 menit.

Sebada berlari, saya merasa hidup. Benar-benar hidup. 25 tahun kemarin mungkin saya cuma pura-pura dan seolah-olah hidup. Karena saya tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab dalam kenyataan meski sudah beberapa kali keras berusaha (usaha macam apa ini), cukuplah sekali seminggu saya ingin sejenak berlari dari hal-hal nisbi. Walau tak satu pun peduli, walau segala hal telah terukur materi. Ah, penutupan sampah macam apa ini.[]