Pernahkah kamu bermasalah dengan kata "harus"?

Kita harus sekolah supaya pinter. Kenapa harus pinter? Biar selulusnya dari sekolah itu, bisa ngelanjutin ke sekolah bagus. Kenapa harus bagus? Biar gampang lolos universitas bagus. Kenapa harus bagus universitasnya? Biar lulus nanti gampang cari kerja? Kenapa harus kerja? Hmm... kamu pikir dengan berpikir saja bisa bikin perut kenyang?

Harus muncul karena ada patokan. Patokan yang padahal semu. Tidak jelas berada di titik dan limit mana. Seberapa gunduk batas kekayaan kamu yang kelak menegurmu agar berhenti bekerja keras? Seberapa jauh kamu harus terus berlari mengejar yang tak pasti, batas jarak yang akan sadarkanmu bahwa rihat dalam kapsul jeda sesekali perlu demi kewarasan.

Pekerjaan adalah gudang "harus" terbesar sejagat. Mulai dari hal remeh temeh sampai yang bikin otak meleleh, semua harus sesuai target. Harus sejalan visi dan misi. Harus dikerjakan berlandaskan company policy. Harus sesuai etika dan moral setempat. Bahkan untuk berbicara saja, harus sangat berhati-hati menjaga kata-kata yang hendak terlontar, harus dengan intonasi teratur, harus mudah dimengerti khalayak, harus senantiasa meniti rel konteks pembicaraan. 

Mungkin itulah kenapa cuma 40 jam per minggu batas waktu yang diperbolehkan untuk bekerja. Bila kebablasan lama-lama bisa gila. Dunia ini saya pikir pada dasarnya menawarkan kebebasan, bukan keharusan. Cuma kita saja yang sedikit-sedikit mengharuskan begini dan begitu, dilarang ini dan itu, yang menjadikan keharusan sebagai kebiasaan, bahkan kebutuhan. Potongan rambut, mode busana, merek sepatu, segalanya bagaikan sudah menjadi standar baku yang harus diikuti perkembangannya. Pada akhirnya semua orang lupa bahwa semula pakaian ada hanya untuk melindungi tubuh dari panas matahari dan dingin angin, bukan pemuas ingin.

Saya khawatir andai keharusan sudah telanjur jadi kebiasaan. Seperti kentut, lama-lama mungkin kita tidak paham betul apa yang sedang kita lakukan. Jawabannya cuma yah dunia kepalang menuntut kita melakukan ini, mengerjakan itu, entahlah buat apa dan demi apa semua ini. Suara-suara di dalam hati terkubur makin dalam dan kian sukar didengar.

Apakah kamu baik-baik saja andai kehilangan kegiatan yang tidak mengharuskanmu begini begitu? Yang bebaskanmu mengerahkan segenap potensi tanpa pretensi apa-apa dari siapa-siapa? Atau kamu hendak memutuskan mengisi akhir pekan dengan leyeh-leyeh tiduran di rumah pun harus terlebih dahulu menerima approval dari bos kamu? Pagi-pagi beli nasi uduk sambal kacang encer harus survey legalitas dulu ke BPOM? Mendengarkan musik harus selalu relevan dengan konteks kegiatan yang sedang dilakukan? Memangnya tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ada maknanya, mengalir begitu saja, memasrahkan semuanya? Apakah kamu pikir cinta pun harus ada maknanya, yang harus dipresentasikan di hadapan klien, seberapa untung-ruginya, apa saja dampak positif-negatifnya?[]