Karena sejak kecil selalu diarahkan untuk mencintai matematika, sains dan engineering oleh orangtua, saya sempat merasa bahwa logika adalah satu-satunya senjata sapu jagat segala problema di dunia ini.

Intinya, sejak SD, SMP, STM, kerja, saya lebih mengandalkan pemikiran ketimbang perasaan.

Sampai pada satu titik di rutinitas dunia kerja ketika saya masih 18-19 tahun, saya kok merasa kosong ya? Padahal duit ada (lemburan banyak gila), mau beli apa aja pun mampu sebenernya, tapi ada sensasi aneh dalam hati saya.

Perasaan kosong itu semacam, kok serasa ada yang saya rindukan tapi saya gak tahu apa dan siapa yang sedang saya rindukan kala itu.

Bukan, bukan perempuan. Kalo perkara cinta sih tergolong complicated ya bagi saya di usia belasan mah hahaa.. So pathetic, dan ribet juga sih! Buang-buang waktu doang pacaran mah, trust me!

Lama-lama saya selami kembali, bermalam-malam ketika berangkat kerja, sepulang kerja, entah kenapa saya tergerak untuk memutar lagu band lawas yang sebenarnya bukan dari generasi saya, yaitu Kla Project.

Judulnya: Menjemput Impian.

Hari demi hari saya tenggelam dalam nada dan lirik lagu tersebut, dan mungkin tertanam di alam bawah sadar, bahwa selama ini saya lupa untuk merasa, lebih banyak habiskan waktu untuk berpikir dan bekerja non stop ketimbang sesekali merasa.

Setelah itu, saya menemukan satu hal: manusia pun membutuhkan untuk mengaktifkan peran feeling atau intuisi selain daripada logika, agar hidupnya terasa utuh, teraktualisasikan sebagai makhluk sosial.

Dengan feeling, manusia takkan lagi sering melarikan diri dari kenyataan sesuai arahan ego dari logika, namun manusia akan jauh lebih sering menemui dan berdamai dengan kondisi dan situasi saat ia harus menerima dan pasrah, tanpa harus berlebihan berpikir "Whyyyy meee, God?!! Please not me! Aing deui aing deui, kieu-kieu teuing hirup teh Gusti!!"

Belakangan saya ketahui, hal terkait feeling tersebut biasa diistilahkan di media atau buku sebagai wisdom.[]