(K)onstruktor: "Bor, lo kudu ke pit sekarang. Ban rawan. Paham?"

(P)embalap: "Ah, gua lagi lead nih bos! Gak perlu lah ke pit. Nanggung bentar lagi kelar."

K: "Tahan ambisi. Lo minggir sekarang."

P: "Dikit lagi bos, masih aman lah ini."

K: "Lo mau menang apa mau mati sekarang?"

P: "Bos... Okeh gua minggir sekarang."

K: "Dari tadi kek!"

*

Saat mobil sedang balapan, misal balapan F1, kadang terjadi situasi yang membutuhkan pit stop. Baik secara reguler maupun kondisional.

Pit stop biasanya dilakukan untuk melakukan penggantian ban, mengisi bahan bakar, atau sekadar melakukan penyesuaian pada kendaraan agar performa mobil lebih prima.

Sadar gak, sesehari, kita juga sering butuh pit stop? Misalnya lagi capek, stres, bosen idup, gara-gara rutinitas gak abis-abis. Setelah jalanin karier, pernikahan, apa pun, lebih dari 5 tahun, nyatanya kok gini-gini aja, padahal udah kepala tiga?

24 jam rasanya gak pernah cukup. Imbasnya kita malah merasa berdosa kalo lagi istirahat. "Pokoknya aku harus produktif!" tegasmu. Sebab society, terutama di kota besar, selalu berpihak pada produktivitas. Kalo tidak, dianggap malas. Dianggap gagal. Dianggap sampah.

Padahal, secara rutin, kita butuh rehat sejenak agar jiwa dan raga kembali ke performa yang jauh lebih baik, setidaknya kembali ke setelan terbaik semula. Untuk dapat terus berjalan, hingga berlari lebih jauh lagi.

Pit stop bisa jadi momen buat merenung. Kontemplasi. Kian menyelami diri sendiri yang selama ini terasing dalam norma, tuntutan, kendali society, mengajaknya kembali hadir utuh.

Luangkan waktu untuk adjust strategi dan tujuan hidup. Perbaiki kelemahan, kian asah kekuatan. Ubah kebiasaan diri supaya bisa capai goals lebih baik. Kalaupun goals tidak tercapai, setidaknya, kiranya semoga bisa hidup [secara umum] lebih baik.

Pit stop tak usah lama-lama. Waktu kita tak banyak. Tekor beberapa milidetik saja, kita mungkin akan jauh tertinggal. Kesempatan pun hilang. Atau balapan dinyatakan berakhir.[]