Bagi sebagian besar orang, mungkin rumah adalah tempat yang harus ditinggalkan jauh-jauh. Rumah seringkali beraura membosankan lantaran yang dapat dilihat di dalam rumah ya itu-itu saja, menu yang dimakan itu-itu lagi, orang yang ditemui dia-dia lagi. Enggak ada objek foto di dalam rumah yang instagramable. Dan rumah bukan titik location yang keren untuk di-share kepada warganet pada akhir pekan, apalagi saat long weekend melanda.

Bagi saya, rumah adalah sangkar paling aman dan nyaman yang dapat melindungi saya dari keriuhan dan ketergesaan. Satu-satunya ruang yang membuat selang-selang di otak saya lancar mengalirkan ide-ide tak terduga. Rumah, mau tipe RSS atau bedeng yang atapnya bocor pun, bagi saya perannya seperti charger; pengisi daya bagi tubuh ini yang setiap hari menghadapi hal-hal sama dan berulang, atau sebaliknya: masalah tak terduga dan terkadang saya rasa mengada-ada dan sebaiknya gak usah terjadi saja.

Bukankah rumah dilihat setiap hari, suasananya sama, dan kegiatan yang mungkin dilakukan di dalamnya paling itu-itu saja dan terus berulang sehingga kita lebih berhasrat untuk kabur ke tempat sejauh mungkin dari rumah?

Memang. Kadang saya pun merasakan bosan kelamaan diem di rumah selama berminggu-minggu, kayak masa-masa menganggur dulu. Tapi, enggak tahu ya. Seenggaknya, satu hari pada akhir pekan, saya harus ngendon di rumah. Senin sampai Jumat saya kerja, Sabtu saya kuliah (iya, saya masih kuliah S1), maka Minggu minimal dari pagi sampai siang harus ada di rumah. Gak ngapa-ngapain juga gak apa-apa.

Biasanya sih, kalau dulu sebelum nikah, hari Minggu dipake buat nyuci (sekarang dicuciin), beres-beres rumah, mapas rumput kalau udah mekar-mekar sampai ke teras-teras. Sepedaan kalau lagi rajin, kemudian saya baru sarapan pukul sebelas siang sambil nonton tv atau dengerin musik.

Abis lohor keluar bentar buat motret-motret ala Henri Cartier Bresson wannabe, mampir ke toko buku buat baca-baca buku yang plastiknya udah kebuka, beli buku walaupun sampai di rumah buku itu belum tentu dibaca. Biasanya balik ke rumah sebelum magrib, sehingga masih punya waktu buat nyiapin mood dalam rangka menyambut Senin sarat kebencian menurut orang-orang.

Kalau gak gitu?

Ketika bangun tidur pada Senin pagi, mata rasanya berat banget untuk sekadar melek. Badan pegel-pegel, kepala rada pusing, idung meler karena seringkali kehujanan pada kemarinnya. Persis kayak hape yang baterainya baru 60%, mau dicas lagi nanggung, gak dicas baterainya bakalan cepet abis. Dan biasanya sih, mood saya jelek banget ngadepin apa aja di tempat kerja, hal sesepele apa pun. Pengennya weekend datang kembali besok, kenyataannya besok masih Selasa. Minggu masih lama.

Enggak heran, pas ada hari kejepit seperti tanggal 1 Desember kemarin, pengennya sih dua hari saya menghirup udara liburan di luar rumah, satu hari full rihat di rumah. Nyatanya saya demam; panas dingin. Bed rest deh. Iya, saya beneran diem di rumah selama tiga hari, ketika orang-orang mungkin pada berjemur di pantai, maen paralayang di langit Puncak, minimal makan nyobain kafe baru. Karena gak rela, maka Minggu sore saya ngajak istri nonton The Murder of The Orient Express. Untung filmnya lumayan bagus, kalo enggak, mungkin demam saya tinggi lagi dan males masuk besok Seninnya. #alesan

Saya sadar, diem di rumah atau keluar rumah itu relatif. Kalau di rumah tapi sakit, tetep aja gak enak, boro-boro bisa menikmati hawa liburan, selama apa pun. Sementara itu, meski saya bepergian ke luar rumah sepanjang hari, mungkin malah bisa ngecas mood menjadi lebih baik dan bugar menyongsong tanggal-tanggal hitam. Tapi, andai mesti milih, kalau datang hari libur, saya tetep prefer stay di rumah. Dalam bentuk apa pun. Di mana pun. Kapan pun.

Esensi keluar rumah bagi saya adalah sama saja dengan keluar dari zona nyaman, berani mengambil tantangan, menekan batas diri hingga batas kemampuan diri setekan-tekannya hingga saya menyadari "sudah cukup, segini saja".[]