Mungkinkah manusia menghentikan waktu atau memutar kembali waktu, dengan tujuan biasa saja; misal untuk sekadar bersantai sehingga waktu rehat tidak akan menggerogoti waktu-waktu produktif yang cepatnya minta ampun itu?

Jawabannya adalah bisa saja. Tetapi bakal menghabiskan banyak sekali energi, materi, bahkan waktu itu sendiri sehingga usia kita takkan cukup untuk melampauinya.

Kabar baiknya, tanpa melakukan perjalanan waktu, kita sebenarnya bisa saja melakukannya tanpa harus repot-repot menciptakan mesin waktu. Karena sekali lagi, waktu bersifat relatif. Einstein bilang, kalau tangan kita dibakar di atas api walaupun hanya dalam waktu satu menit saja, masa-masa itu akan serasa satu abad.

Lain hal ketika kita sedang berlibur menghabiskan waktu bersama keluarga ke luar kota selama sebulan penuh, rasanya baru kemarin kita berkemas, berangkat, nyatanya malam itu sudah harus kembali pulang dan kembali menjalani realita demi cicilan-cicilan dan tuntutan-tuntutan.

Konon, waktu adalah dimensi ke empat, dan kita adalah makhluk 3 dimensi. Dimensi yang merekam jejak-jejak kita lahir, tumbuh, bergerak maju, berubah, terjatuh, bangkit, tobat, kemudian kembali ke liang lahat dan menghadap kepada-Nya, tiada lain adalah waktu.

Salah satu cara mempercepat waktu, mungkin hanya dapat dilakukan dengan terus menjalani aktivitas-aktivitas yang kita yakini. Mencurahkan segenap hati untuk istri dan anak agar suatu hari tidak menyesal saat kita terpaksa meninggalkan atau bahkan ditinggalkan.

Waktu semacam versi animasi 4D dari diri kita dalam bentuk gumpal-gumpal lembaran hidup, yang mustahil dapat kita manipulasi apa-apa perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan seumur hidup dalam gumpalan-gumpalan itu: apakah amal lebih berat timbangannya dari dosa, atau sebaliknya?

Saya sadar, percuma manusia dikasih waktu untuk dapat hidup beribu-ribu tahun, kalau ia tidak menyadari bahwa ia harus rutin melukis amalan-amalan di atas lembar-lembar hidup di dunia seefektif mungkin.

Bukan perkara durasi singkat atau lama. Kali ini saya percaya, mengejar kualitas nyatanya jauh lebih logis ketimbang mengikuti kuantitas dalam menerabas batas-batas. Sebab sungguh, jatah kita terbatas.