If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.
—The African proverb 

Mungkin Anda bisa relate: menjadi leader—terutama di level middle management, bukan leader technical, itu semacam masuk ke medan perang tanpa navigasi. Setiap langkah yang diambil tidak hanya memerlukan perhitungan, tetapi juga insting yang tajam. Ketika kita mengelola tim, naluri pertama yang muncul adalah: ”Saya harus mengontrol, karena saya yang tahu cara tercepat untuk mencapai garis finish.”

Ya, mula-mula, saya yakin, kita pasti pernah jadi micro-manager. Bukan karena suka—siapa juga yang senang jadi bos nyebelin yang tiap menit nanyain update kecil, dan bawelin setiap detail? Capek, bro! Mending juga kerja sendiri yang ribet ya diri sendiri. Hal itu terpaksa muncul lantaran berangkat dari perasaan: ”Kalau bukan gue yang kontrol detailnya, siapa lagi?” Ya, bukan karena ingin, tapi karena harus; ada tanggung jawab dan ekspektasi besar dari big boss yang mau tidak mau harus kita tunaikan dengan tuntas.

Di tahun pertama itu, kita dikekang sama rasa pengen semuanya beres sempurna. Pengen semuanya serapi mungkin, semuanya on point. Tapi, kenyataannya? Team member kita sering kali keras kepala, ada aja yang gak sejalan, punya prinsip dan gaya kerja masing-masing, dan sering kali, mereka enggan mengikuti metode kerja atau tools yang saya percayai efektif. 

Pada akhirnya, biasanya kita balik lagi ke insting awal: ”Yo wes lah saya kerjain sendiri aja yang saya bisa.” Rasanya lebih aman, lebih cepat, dan tentunya lebih terkendali. Saat itu yang saya pikirkan sederhana saja: lebih baik repot sedikit sekarang daripada stres banyak besok dan semuanya amsyong.

Namun, seiring berjalannya waktu, ada dinamika yang berubah. Begitu memasuki tahun kedua, mungkin Anda juga mulai merasakan dampak dari micro-managing itu sendiri. Sekali lagi: capek, bro. Lama-lama mental Anda juga terganggu. Anda mulai menyadari bahwa bukan hanya Anda yang butuh ruang bernapas, tetapi juga anggota tim Anda. Gen Z, khususnya, mereka butuh otonomi, tetapi tetap menginginkan batasan yang jelas. Jadi, setelah kehabisan energi untuk micro-manage, Anda mulai belajar memberikan mereka ruang untuk bereksplorasi sendiri. Awalnya memang tidak gampang, tapi itu sangat perlu.

Menemukan Ritme Baru: Menyeimbangkan Otonomi dan Batasan

Nah, di tahun kedua ini, biasanya kita mulai belajar merombak pendekatan. Alih-alih memberikan instruksi detail seperti seorang guru SD, Anda mulai memberikan kepercayaan pada anggota tim. Tugas-tugas yang bisa dieksplorasi, mulai kita serahkan sepenuhnya kepada mereka, tentunya dengan arahan umum yang jelas. Bukan berarti kita abai, melainkan lebih kepada belajar merelakan dan melihat mereka berkembang, meskipun kadang hasilnya berbeda dari ekspektasi awal yang ada di kepala kita sebagai leader.

Dan Anda tahu apa? Ini sehat secara mental, bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita sebagai leader. Kita jadi punya energi lebih untuk fokus pada hal-hal strategis yang hanya kita yang bisa selesaikan, sementara mereka pun belajar bertanggung jawab atas tugas yang mereka pegang. Rasanya lebih seimbang? Tentu, bagi saya pribadi, ini seperti redistribusi energi, yang membuat segalanya lebih stabil dan menghindarkan kita dari burnout alias kelelahan di tengah perjalanan menggapai tujuan.

Generasi Z: Tantangan Adaptasi, Batasan dan Ketegasan

Ada satu tantangan lagi di sini—Generasi Z. Saya mulai memperhatikan mereka memang berbeda dari generasi saya—milenial, apalagi generasi jauh sebelum saya. Terlepas dari karakter personal, mereka tidak hanya peduli pada hasil kerja, tetapi juga bagaimana prosesnya berjalan. Bukan cuma soal pekerjaan, tapi juga soal etika, cara komunikasi, sampai lingkungan kerja yang sehat. Mereka adalah generasi yang vokal, dengan ekspektasi yang kadang jauh di luar zona nyaman kita sebagai leader. Mereka bisa sangat open dan penuh empati, tapi juga, di saat yang sama, bisa ”ngelunjak” kalau kita terlalu longgar.

Nah, di sinilah leadership kita kembali diuji. Kita butuh strategi yang tricky, kombinasi antara ketegasan dan empati. Saya belajar bahwa memberikan empati dan ruang adalah satu hal, tetapi penting juga untuk membuat mereka menghormati dan memahami batasan. Mereka juga butuh guidance yang jelas, dan jika melanggar, saya harus menegur mereka dengan tegas. 

Ya, kita harus bisa set boundaries tanpa bikin mereka ngerasa terkekang. Triknya? Saat mereka melanggar batas, tegur tanpa nunggu mereka sampai berantakan. Ingat, semakin jelas Anda dalam set batasan sedari awal, semakin mereka menghargai kepercayaan yang Anda kasih.

Namun, perlu diingat, ketegasan ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa saya atau Anda ada di sini untuk membantu mereka tumbuh. Bagi saya, ini bukan hanya soal aturan, tetapi juga menjaga agar kepercayaan tetap terjalin dan mereka menyadari siapa yang memegang kendali.

Menjadi Leader itu Learning Process Tanpa Garis Finish

Di dunia kerja, menjadi leader bukan sekadar mengontrol atau memberikan perintah setelah itu berakhir sudah. Ini tentang menemukan keseimbangan antara kepercayaan dan batasan. Di awal, Anda mungkin merasa perlu menjadi micro-manager karena kondisi yang mengharuskan metode ini, dan itu tidak apa-apa—kita semua sedang beradaptasi satu sama lain.

Namun, seiring waktu, Anda akan belajar kapan harus melepaskan kontrol dan memercayai tim. Kabar buruknya—atau kabar baik, tergantung dari mana POV yang kita gunakan, proses ini tidak ada garis finish-nya; selalu ada hal baru dan variabel dinamis yang harus kita hadapi dan telan pelan-pelan.

Menjadi leader itu seperti menyusun ritme dari beragam notasi nada yang tidak selalu harmonis. Di situlah seni dan tantangannya—menemukan irisan kompromis di mana semuanya bisa berjalan seirama antara kita dan anggota tim, terus berkembang, dan menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.[]

-

Bogor, 31 Oktober 2024

Sehari-hari bekerja sebagai pemasar digital. Berdomisili di Bogor.
-
Email: kotakcepy@gmail.com

Sumber foto: Osarugue Igbinoba