Warisan Bapak

Almarhum Bapak, seorang guru.

Bukan guru yang dikenal luas atau diganjar penghargaan pernah berfoto bersama Pak Harto. Ia (hanya) guru lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), mengabdi sejak dekade 1960-an, mengajar siswa-siswa Sekolah Dasar di kota kecil di Kabupaten Bandung (sekarang Bandung Barat), Jawa Barat.

Nyaris empat dekade hidupnya dihabiskan dalam ruang kelas. Tanpa pernah berpindah profesi. Tanpa pernah merintis bisnis sampingan di sela waktu. Tanpa pernah mengurusi personal branding.

Rutinitasnya seperti barisan kalimat dalam buku harian yang tak pernah berubah. Pagi hari mengajar di SD Negeri. Pulang menjelang tengah hari, sekitar pukul setengah satu siang, rehat sejenak di rumah, lalu jelang pukul dua, kembali berangkat ke sekolah lain untuk mengajar hingga senja. Begitu terus, sepanjang yang saya ingat dalam hidup.

Ia tidak pernah berbicara tentang passion. Tapi seluruh hidupnya adalah penjelasan paling sunyi sekaligus paling utuh tentangnya.

Beberapa waktu lalu, saya berdiri di depan puluhan murid kelas lima SDN Julang, Kota Bogor. Diberi kesempatan oleh sahabat-sahabat di @ki_bogor untuk berbagi tentang profesi yang saya jalani selama ini: dunia digital strategy alias pemasaran digital; pekerjaan yang nyaris tak pernah lepas dari angka, strategi, dan ketidakpastian dalam mencapai target.

Ironisnya, di tengah peran saya sebagai narasumber hari itu, saya justru merasa seperti murid. Bukan saya yang mengajari mereka, melainkan mereka yang perlahan membukakan kembali pintu kenangan dan kesadaran dalam diri saya.

Saya teringat Bapak.

Bayangannya hadir dengan jelas: baju “sepe” warna kakhi yang disetrika rapi, sepatu loafer kulit dari Cibaduyut yang mengilap, dan cara beliau menggambar peta atau organ tubuh manusia di papan tulis dengan kapur putih.

Saya teringat betapa sabarnya beliau menghadapi anak-anak, meski mereka berisik, gelisah, dan diliputi semangat masa puber yang belum tahu arah.

Saya teringat betapa diam-diam beliau memperlakukan setiap anak seperti individu yang layak didengar dan dimengerti.

Dan saya merasa malu.

Selama lebih dari satu dekade, hidup saya habis semata untuk mengejar sesuatu yang bisa dibilang fana penuh keduniaan, entah itu diistilahkan sebagai prestasi, jabatan, validasi, hingga materi. Saya larut dalam sistem kapitalis yang berisik dan bergegas, yang menakar nilai manusia dari angka-angka efisiensi, nilai-nilai pertumbuhan, dan dampak sosial dan bisnis yang sebegitunya terukur.

Tapi hari itu, bersama anak-anak itu, saya menemukan perasaan lega yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Saya mengerti, barangkali untuk pertama kalinya, kenapa Bapak bisa setia dan sepenuh hati dalam profesinya.

Ada rasa hangat dan hening yang sukar ditemukan di ruang-ruang rapat korporat. Ada makna berarti yang mustahil diukur dalam KPI, ROI atau engagement rate. Ada keindahan dalam keterhubungan manusia yang sederhana: tawa anak-anak, tatapan penasaran mereka, dan cara mereka memandang dunia tanpa prasangka.

Di hadapan mereka, saya merasa kembali menjadi manusia.

Dan dalam perjalanan pulang hari itu, saya menyadari sesuatu: warisan terbesar dari bapak saya bukan rumah gedong, mobil mewah, bukan pula lahan berhektar-hektar.

Melainkan nilai-nilai kebijaksanaan yang nyaris tak terdengar, tapi senantiasa bergetar: cara memanusiakan manusia, cara melihat pekerjaan bukan sebagai jalan semata menuju kekayaan duniawi, melainkan ladang sunyi untuk menanam kebermanfaatan ke sesama dan semesta.

Mungkin memang perlu waktu seumur hidup untuk memahami ajaran yang tak pernah ia katakan dengan kata-kata.

Dan mungkin, baru setelah seseorang pergi, kita benar-benar mengerti cara ia mencintai hidup, dan hidup benar-benar hidup; bukan hanya seolah-olah hidup.

Terima kasih, Pak. Warisanmu bukan rumah gedong, mobil mewah, atau berhektar-hektar tanah. Warisan berhargamu adalah value tentang bagaimana cara memandang hidup dan berdamai dengan rupa-rupa lelakonnya, serta tata cara paling indah memanusiakan manusia.[]

-

📸 oleh: Ryunosuke Kikuno (via Unsplash)

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Terimakasih apa, telah melahirkan anak yang berani bertahan hidup setidaknya hingga detik ini.

    BalasHapus

Rayakan spirit demokrasi, mari berdiskusi!