Gigi Bungsu dan Hal-hal yang Kerap Diremehkan


Pekan ini saya diuji dengan sakit gigi bungsu, tepatnya gigi geraham bungsu bawah kanan, yang sensasi sakitnya luar biasa. Berturut-turut, selama enam hari, rasa nyut-nyutan sedemikian intens mengiringi setiap aktivitas, dari bangun tidur hingga kembali memejamkan mata. Saya sudah mencoba mencari pertolongan—tiga kali berpindah dokter gigi.

Dua yang pertama, baik dokter gigi umum maupun spesialis bedah mulut, hasilnya sama saja: pemeriksaan seadanya, tanpa tindakan berarti; alias clueless. Mereka seakan menaruh rasa sakit saya di urutan paling bawah daftar prioritas, mereka hanya manut pada SOP dan regulasi, jauh-jauh dari empati. Dari dokter pertama, tiada resep obat. Dari dokter kedua, spesialis bedah mulut, resep obat diberikan, tapi efeknya tidak sama sekali mengakhiri penderitaan, bahkan menunda pun tidak.

Sabtu sore kemarin, pukul setengah lima, dengan kondisi Cibinong yang mendung berat, saya memutuskan pergi ke dokter gigi ketiga. Sepanjang jalan hujan badai, pandangan di jalan terbatas, AC mobil tidak menyala sehingga kaca depan berkabut. Di jalan raya, air mulai meninggi, membuat kendaraan lain ragu melaju, termasuk saya, terlebih dengan pandangan yang kian terbatas. Jarak sekitar 2 kilometer serasa saya tempuh 2 abad. Namun saya terus memaksa diri, digerakkan oleh rasa sakit yang tak kunjung reda, yang barangkali saya tunda-tunda selama 7-8 tahun lamanya, dan harapan untuk sembuh seperti sedia kala.

Setibanya di klinik, hujan deras masih mengguyur. Saya menunggu satu keluarga—tiga orang—yang tampaknya semua diperiksa giginya. Waktu semakin berjalan lambat. Begitu sang kepala keluarga akhirnya mengucapkan terima kasih dan melangkah pergi, tiba-tiba lampu padam. Mati listrik! Kok ya kenapa bisa kebetulan giliran saya ya langsung mati listrik? Kebetulan? Entahlah, tapi rasanya kok ya terlalu pas bahkan terlalu presisi momennya untuk disebut sebuah kebetulan.

Suara hujan di luar semakin hebat, air merembes di beberapa titik di dalam klinik yang merupakan bangunan ruko satu lokal dua tingkat, udara di dalam ruangan semakin dingin dan lembap. Saya hanya bisa duduk diam, mencoba menerima bahwa bahkan dalam perjuangan mencari pertolongan, kadang kita masih harus menunggu dalam gelap, dan senantiasa berharap kepada-Nya, bukan kepada makhluk, bukan kepada uang yang sebenarnya ada untuk membayar dokter, bukan kepada entitas-entitas lain.

Ketika akhirnya giliran saya tiba, dokter langsung sigap. Dalam kondisi gelap gulita, disenteri oleh dua perawat oleh smartphone pribadi mereka, dokter menyuntik gusi saya dua kali dengan obat racikannya, setelah sebelumnya ia membersihkan karies dan area lain dari gigi bungsu saya yang luar biasa sakit dengan teliti. Ada perbedaan yang langsung terasa, terutama pada rasa tenang yang muncul saat kita merasa benar-benar diperhatikan. Dan itu bukan tentang uang. Sebab kalau menyoal uang semata, toh lebih mahal tarif spesialis bedah mulut pada Sabtu pagi yang clueless itu.

Pantas saja banyak yang bilang ”Matinya Kepakaran” toh memang kerap kali, seorang pakar tidak bulat niatnya untuk tulus membantu masalah masyarakatnya dengan effort minimum. Bahkan tidak bisa dikatakan tulus, saya sudah membayar pun, perceive value yang saya terima terasa jauh dari harapan.

Kini, semalaman tadi, saya hanya bisa berdoa dan berserah: Sembuhkanlah Ya Allah penyakit ini hingga tuntas, dan hapuslah dosa-dosa maupun perkara-perkara duniawi yang selama ini mungkin sering saya anggap remeh, namun nyatanya tetap tercatat di hadapan-Nya, sehingga balasannya, pekan ini saya diremehkan oleh makhluk lainnya.

Lesson learned:

Kesabaran bukan hanya perkara menahan rasa sakit, tetapi juga keteguhan hati untuk terus mencari jalan keluar di tengah badai; hujan lebat, kaca mobil berkabut, air jalanan yang kian meninggi sampai-sampai sepulang dari dokter portal kompleks ditutup sehingga harus mengambil jalan memutar, dan ruang tindakan yang gelap tanpa listrik. Satu hal yang patut diingat: jangan menunda apa pun ketika kesempatan datang menghampiri. Dalam hidup, sepertinya memang kita akan sering dihadapkan pada banyak pintu yang tertutup rapat. Namun, satu pintu yang terbuka dengan tulus—meski sering kali datang terlambat—mampu mengubah segalanya. (*)

-

Bogor, 10 Agustus 2025

Sehari-hari bekerja sebagai Digital Strategist. Berdomisili di Bogor.
-
Email: vakansi.net@gmail.com atau kotakcepy@gmail.com

Sumber foto: Nsey Benajah

Posting Komentar

2 Komentar

Rayakan spirit demokrasi, mari berdiskusi!