Selama dua tahun, dari 2021 hingga 2023, KRL Jabodetabek bagi saya, penumpang harian rute Cilebut-Tebet, menjadi panggung yang menampilkan realitas kehidupan kota—keras, tanpa ampun, beraroma asam (ketiak, red), dan selalu bergerak. Kala itu, setiap pagi dan sore—kadang hingga malam, saya berdesakan dengan penumpang lain yang, dalam diam, menyimpan kisah perjuangan hidup mereka masing-masing. KRL bukan hanya transportasi, tetapi juga ruang dan saksi di mana wajah-wajah letih setelah seharian berjuang, ketidakpastian, dan ketimpangan saling berbaur, tanpa pernah benar-benar menyatu; semua fokus pada tujuan dan impian masing-masing.

Ada sesuatu yang begitu kontras ketika melihat wajah-wajah itu. Di satu sisi, ada sosok-sosok yang tampaknya sudah terlalu lama bergulat dengan kehidupan, seperti pria tua yang sering saya lihat di sudut gerbong—yang kadang berebutan tempat bersandar dengan penumpang lain. Wajahnya keras, matanya seperti menyimpan beban hidup bertahun-tahun. Ia tidak lagi merasa perlu untuk protes atau mengeluh. Kehidupannya bagai sudah lama menyerah pada rutinitas, terikat oleh keterbatasan. Setiap hari, ia berdiri di sana, menunggu tiba di tujuan yang mungkin tak lagi ia pedulikan. Di tangannya, hanya ada pegangan kereta yang terasa lebih pasti daripada pegangan apa pun yang sanggup ia harapkan dari hidupnya.

Namun di sisi lain, ada angkatan muda, fresh graduate yang baru saja memasuki dunia kerja. Wajah mereka masih segar, penuh harapan, tapi dengan cepat mulai menampakkan kebingungan terhadap bagaimana cara dunia berjalan. Saya pernah berdiri berdesakan di sebelah seorang pemuda yang baru lulus kuliah, mengenakan kemeja rapi, celana bahan kekinian—generasi mereka biasa menyebutnya: trousers, dan sepatu resmi mengilap. Ia memegang hand strap kereta dengan gerakan dan pandangan gugup, terlihat jelas ia masih mentah—belum sepenuhnya paham betapa kerasnya dunia yang akan ia masuki, atau baru saja mengenali realitas.

”Gue kira lulus kuliah itu artinya jaminan dapet kerja yang oke, tapi ternyata enggak segampang itu,” katanya, sambil mengelus kening. ”Gajinya gak seberapa—gak nutup kebutuhan, dan tuntutan kerja ternyata jauh lebih berat dari yang aku bayangin pas kuliah. Setiap hari rasanya cuma berusaha bertahan hidup aja.” 

KRL menjadi saksi bagi ia dan ribuan pemuda lainnya, yang perlahan mulai kehilangan impian dan idealisme mereka, sedikit demi sedikit, seiring dengan perjalanan yang mereka lalui. Mereka datang dengan semangat membara dari kota satelit maupun daerah-daerah di provinsi lain, percaya bahwa kehidupan di kota besar seperti Jakarta akan membawa perubahan yang berarti bagi mereka. Namun, kenyataan tak pernah sesederhana itu. Realita yang mereka hadapi justru memperlihatkan bahwa impian yang mereka bangun di bangku kuliah hanyalah gambaran sementara, sebelum akhirnya diremukkan oleh kerasnya kompetisi, rendahnya upah—dibanding kebutuhan hidup yang semakin beragam, kian tingginya persaingan kerja lantaran ledakan populasi penduduk—yang akhir-akhir ini diamplifikasi sebagai bonus demografi oleh pihak-pihak berkepentingan, dan tekanan-tuntutan ekonomi yang selalu mendesak dari segala arah.

Saya bisa melihat kelelahan mulai merayapi wajah pemuda itu, meskipun ia masih mencoba tersenyum, atau paling tidak, ia terlihat berusaha tegar. Dalam perjalanan KRL yang padat, juga kenyataan yang sering kali jahat, ia seperti mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya. Bukan semata soal pekerjaan yang berat atau upah yang rendah, tapi lebih dalam dari itu—bagaimana ia mulai paham sekaligus menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tidak ada satu pun mata kuliah—termasuk bootcamp yang kian marak tapi yang dialami sebagian besar orang hasilnya luluh lantak, yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi ini semua. 

Pria tua di ujung gerbong, dan pemuda ini, seperti dua sisi koin yang sama—keduanya berhadapan dengan hidup yang tak pernah menawarkan banyak pilihan. Pria tua itu sudah lama tenggelam dalam rutinitas, dan sudah telanjur menerima kenyataan bahwa tak ada lagi harapan apalagi kejutan besar yang bisa ia kejar di hadapan. Sementara pemuda fresh graduate itu baru mulai memahami bahwa realita jauh dari bayangan ideal yang ia bawa dari bangku kuliah. Namun pada akhirnya, mereka sama-sama hanya penumpang dalam kehidupan yang bergerak tanpa ampun, seperti rel kereta yang terus melaju tanpa bisa diputar balik, tanpa empati.

Kehidupan di KRL Jabodetabek ini menjadi refleksi yang nyata dari ketimpangan sosial dan ekonomi. Di satu sisi, ada orang-orang yang mungkin masih bisa tertawa, bersenda gurau sembari merokok di kedai kopi anak skena, berbicara tentang rencana-rencana liburan ke luar kota bahkan ke luar negeri, atau tujuan karier impian mereka. Namun di sisi lain, ada mereka yang hanya bisa menatap kosong ke luar jendela kereta, bertahan menahan pijakan yang sempit serta menahan napas demi memproteksi hidung dari berupa-rupa sumber aroma yang menyesakkan, merenungi nasib yang tak berpihak, mencoba bertahan di tengah hiruk-pikuk kota yang semakin tak ramah.

Dan di setiap peron, saya selalu menyaksikan harapan-harapan yang perlahan luntur. Bukan karena kurangnya ambisi, tapi lantaran kenyataan yang seolah tak pernah memberi ruang bagi impian-impian besar orang-orang kecil, termasuk saya. Dua tahun sebagai penumpang pulang-pergi KRL, dan selama itu pula saya belajar satu hal yang pasti: ketimpangan bahkan kemiskinan bukan sekadar angka statistik, melainkan kenyataan berupa wajah-wajah lelah yang tanpa sadar kita temui setiap hari; hadir dalam wujud pemuda yang baru saja mengenal kerasnya dunia, atau pria tua yang sudah kadung terlalu lama menyerah pada kehidupan dan memilih untuk menjalani hidup seapaadanya.

Perjalanan saya dengan KRL selama dua tahun kala itu mengajarkan bahwa dalam setiap perjalanan yang kita lalui, selalu ada cerita yang bermakna lebih dalam dari sekadar tujuan individu yang kita capai. Di balik setiap wajah, ada keheningan yang menyimpan perjuangan bernapaskan harapan—sepaket dengan riuh perjuangan untuk tetap bertahan, meskipun dunia sering kali tidak pernah benar-benar peduli.[]

Bogor, 6 Oktober 2024

Sehari-hari bekerja sebagai pemasar digital. Berdomisili di Bogor.
-
Email: kotakcepy@gmail.com

Sumber foto: Faisal Hanafi